Jakarta, CNN Indonesia -- PT
Indonesia Asahan Aluminium (Persero) mengatakan nilai rencana
divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia senilai US$3 miliar hingga US$5 miliar sudah merupakan angka yang terbaik. Meski demikian, perusahaan masih enggan membeberkan nilai divestasi yang akan ditetapkan.
"Insyallah harusnya urusan valuasi bisa mendapatkan angka yang terbaik. Walaupun besaran angkanya saya belum bisa ngomong," ujar Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jumat (22/6).
Dia mengklaim perbincangan dengan Freeport terkait divestasi sudah mengalami kemajuan, Indonesia juga punya daya tawar yang cukup baik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasalnya, ada satu tambang di wilayah operasional Freeport yang usianya bisa lebih panjang dari tahun 2041. Hal itu terhitung sesuai dengan batas akhir perpanjangan operasional Freeport jika izinnya diperpanjang tahun 2021 nanti.
Terlebih, tambang tersebut tidak dimasukkan dalam valuasi divestasi. "Kalau dibangun dengan komposisi pemegang saham sekarang, mereka kurang merasakan manfaatnya. Jadi potensinya masih sangat besar," imbuhnya.
Ia melanjutkan, masalah divestasi ini seharusnya rampung bulan Juni sesuai target awal karena pembicaraan dianggap sudah sangat maju.
Namun, penyelesaian polemik operasional Freeport belum rampung lantaran masih ada hal-hal lain yang perlu disetujui kedua belah pihak.
Berdasarkan perundingan setahun lalu, pemerintah dan Freeport juga harus sepakat ihwal pembangunan smelter, perpanjangan operasi sepanjang 2x10 tahun, dan peraturan fiskal yang jelas bagi operasionalnya.
"Jadi sekarang tidak bisa hanya divestasi selesai, tapi tiga hal lain tidak selesai. Jadi keempatnya harus selesai bersamaan dan Inalum hanya bertanggung jawab pada urusan divestasi," ujarnya.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar belum mau berkomentar ihwal keputusan akhir perundingan dengan Freeport yang harusnya selesai bulan ini.
"Sekarang masih dalam halal bihalal, itu nanti dulu," tegasnya.
Sejak tahun kemarin, pemerintah dan Freeport melakukan negosiasi demi menentukan masa depan operasional perusahaan pasca terbitnya Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2017 yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017.
Sebab, di dalam peraturan tersebut, Freeport yang memiliki status Kontrak Karya (KK) harus berganti ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) agar bisa ekspor konsentrat.
Tak hanya masalah ekspor, Freeport pun diwajibkan untuk divestasi sebesar 51 persen jika nantinya sudah berubah menjadi IUPK sesuai peraturan tersebut.
Namun, Freeport bersikukuh bahwa pemerintah tak dapat mengubah ketentuan hukum dan fiskal yang telah berlaku dalam KK menjadi IUPK. Perusahaan mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, di mana KK dinyatakan tetap sah berlaku hingga jangka waktunya berakhir.
Pada Agustus tahun lalu, pemerintah mengatakan Freeport sudah sepakat untuk melakukan divestasi, di mana periode divestasi dan mekanisme pembeliannya akan dicantumkan di dalam lampiran Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang akan direvisi pemerintah.
Saat ini Freeport-McMoran mengambil porsi 90,64 persen dari kepemilikan Freeport Indonesia dan sisa 9,36 persen dikempit oleh pemerintah Indonesia.
(lav/bir)