Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan
Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah akan selektif dalam mengimpor barang demi mengurangi defisit transaksi berjalan. Langkah ini dibutuhkan demi mengantisipasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang kian merosot.
Salah satu instrumen yang dilakukan Bank Indonesia (BI) dalam menstabilkan rupiah adalah intervensi pasar uang menggunakan cadangan devisa. Hanya saja, saat ini cadangan devisa sudah terkuras cukup banyak.
Data BI mencatat, devisa sejak awal tahun susut 6,89 persen dari US$132 miliar pada Januari menjadi US$122,9 miliar lantaran menangani depresiasi rupiah yang mencapai lebih dari 4 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, devisa urung bertambah karena neraca perdagangan Indonesia masih mencatat posisi defisit. Data Badan pusat Statistik (BPS) menunjukkan Indonesia mengalami defisit perdagangan sebesar US$2,83 miliar sejak Januari hingga Mei. Makanya, harus ada seleksi impor demi mencegah defisit transaksi berjalan yang berkepanjangan.
"Saat yang sama, kami mulai meneliti kebutuhan impor, apakah itu memang betul-betul yang dibutuhkan untuk perekonomian Indonesia dan secara selektif akan meneliti siapa-siapa yang membutuhkan, apakah itu dalam bentuk bahan baku ataupun bahan modal," jelas Sri Mulyani di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (3/7).
Lebih lanjut, ia memang tidak menyebut jenis-jenis barang yang akan diseleksi. Hanya saja, barang impor yang diseleksi tentu harus dilihat dari segi urgensinya.
"Kalau impor bahan baku barangkali itu adalah menunjang produksi. Kalau barang modal yang menunjang proyek-proyek besar, terutama yang berhubungan dengan proyek pemerintah, kami akan lihat kontennya apa. Dan apakah proyek ini
urgent diselesaikan dan harus mengimpor barang modal," katanya.
Meski demikian, ia mengakui seleksi barang impor ini tentu bisa memulihkan defisit transaksi berjalan secara drastis. Namun, jika nantinya impor barang modal dan bahan baku diseleksi, hal itu bisa menghambat investasi dan kemudian bisa menghambat pertumbuhan ekonomi.
Makanya, pemerintah akan mengkaji, sampai di kisaran berapa pertumbuhan ekonomi ini bisa ditoleransi akibat aksi stabilisasi ini. "Memang ada tekanan, tapi kami ingin berikan clarity soal respons pemerintah," terang dia.
Data BPS menunjukkan total impor sepanjang Januari hingga Mei 2018 sudah mencapai US$17,64 miliar. Dari jumlah tersebut, 74,53 persen berupa bahan baku, 16,25 persen adalah barang modal, dan 9,22 persen terdiri dari barang konsumsi.
(lav/bir)