Antisipasi Stok Minyak AS Menipis Dongkrak Harga Minyak

Safyra Primadhyta | CNN Indonesia
Jumat, 03 Agu 2018 06:56 WIB
Harga minyak mentah berjangka Brent naik US$1,06 menjadi US$73,45 per barel, sedangkan harga minyak AS WTI naik US$1,3 menjadi US$68,96 per barel.
Harga minyak mentah berjangka Brent naik US$1,06 menjadi US$73,45 per barel, sedangkan harga minyak AS WTI naik US$1,3 menjadi US$68,96 per barel. (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)
Jakarta, CNN Indonesia -- Harga minyak mentah dunia menguat pada perdagangan Kamis (2/8), waktu Amerika Serikat (AS). Penguatan dipicu oleh ekspektasi terhadap terjadinya penurunan persediaan minyak mentah AS.

Dilansir dari Reuters, Jumat (3/8), harga minyak mentah berjangka Brent menanjak US$1,06 atau 1,5 persen menjadi US$73,45 per barel.

Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$1,3 atau 1,9 persen menjadi US$68,96 per barel.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut pelaku pasar, reli kenaikan harga terjadi di awal sesi perdagangan saat perusahaan penyedia informasi industri Genscape melaporkan bahwa persediaan minyak mentah di hub pengiriman AS Cushing, Oklahoma, merosot 1,1 juta barel sejak Jumat (27/7) lalu.

Rabu lalu, harga minyak terseret saat pemerintah AS mengumumkan bahwa total persediaan minyak mentah pada pekan lalu naik 3,8 juta barel sedangkan pasokan di Cushing turun 1,3 juta barel.

"Ada ekspektasi bahwa kenaikan (persediaan) pekan ini akan menghilang pada pekan depan," ujar Analis Price Futures Group Phil Flynn di Chicago. Flynn juga memperhatikan produksi minyak mentah AS yang merosot pada Mei lalu.


Sebelum laporan Genscape memicu reli, harga minyak mentah berjangka merosot di awal sesi perdagangan akibat kekhawatiran terhadap kelebihan pasokan.

Arab Saudi, Rusia, Kuwait, dan Uni Emirat Arab telah mengerek produksinya untuk mengkompensasi potensi turunnya pasokan minyak mentah di Iran saat sanksi AS berlaku mulai November mendatang.

Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya, termasuk Rusia, sebelumnya telah memangkas produksi minyak mentah untuk menyeimbangkan kembali permintaan dan penawaran di pasar. Pemangkasan dilakukan sejak Januari 2017.

"Saat ini, terjadi ketidakcocokan waktu di mana terjadi kenaikan pasokan OPEC dan kita belum melihat penurunan signifikan pada pasokan Iran," ujar Ahli Strategi Komoditi ING Warren Patterson.

Rabu lalu, pegawai pemerintah AS mengatakan kepada Reuters bahwa mereka percaya Iran sedang mempersiapkan percobaan besar di Teluk dengan waktu pelaksanaan dipercepat akibat memanasnya tensi.


Keputusan Presiden AS Donald Trump untuk menarik diri dari kesepakatan nuklir dan mengenakan sanksi kembali kepada Iran telah membuat geram pemerintah Iran.

"Terdapat banyak titik eskalasi yang dapat terjadi sangat cepat dan itu membuat saya khawatir," ujar Direktur Investasi Ayers Alliance Jonathan Barratt di Sydney.

Kekhawatiran terhadap kemungkinan berkurangnya pasokan dari Iran sepertinya bisa diimbangi oleh memanasnya tensi perdagangan yang dapat menahan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi permintaan energi.

Trump telah menekan China dengan ancaman pengenaan tarif sebesar 25 persen terhadap impor senilai US$200 miliar atau sekitar Rp2.880 triliun dari China. China telah menyatakan bakal melakukan retaliasi.

"Hampir pasti bahwa China akan mengenakan bea tambahan terhadap minyak dan produk kilang yang diimpor dari AS jika pemerintah AS memberlakukan tarif tambahan pada sekelompok barang berikutnya dari China," ujar Analis Energi Senior Interfax Energy Abhishek Kumar.

Menurut Kumar, jika pengenaan bea tersebut berlaku maka daya saing AS untuk produk minyak dan turunannya bakal terkena hantaman parah di pasar China. (agi)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER