Bombardir Bonus THR, Pilpres, dan Jokowi

Yuli Yanna Fauzie & Agus Triyono | CNN Indonesia
Rabu, 15 Agu 2018 08:41 WIB
Jokowi menaikkan THR dan gaji ke-13 untuk jutaan PNS pada tahun ini. Namun, pihak oposisi menilai hal itu politis dilakukan jelang Pilpres 2019.
Ilustrasi kemiskinan. (CNN Indonesia/Safir Makki).
Jakarta, CNN Indonesia -- Uni (25 tahun) menjadi salah satu dari jutaan PNS yang menerima kabar gembira dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelang Lebaran pada Juli lalu.

Melalui TV yang ditontonnya, presiden yang didampingi oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla dan sejumlah menteri mengumumkan akan memberikan bonus besar berbentuk THR dan gaji ke-13 ke PNS.

Bonus tersebut diberikan untuk PNS, TNI, dan Polri serta para pensiunan. THR tahun ini diberikan tidak hanya sebesar gaji pokok, namun juga ada tunjangan kinerja, keluarga dan lain-lain.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Anggaran THR dan gaji ke-13 pada 2016 dan 2017 masing-masing senilai Rp17,9 triliun dan Rp23 triliun. Tapi tahun ini, anggaran bengkak jadi Rp35,76 triliun.

"Dengan kebijakan baru tersebut, analoginya 2017 kemarin saya dapat Rp10 ribu, sekarang dapat Rp20 ribu," katanya.

Kepala Biro Kesejahteraan Direktorat SDM dan Umum Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) Otok Kuswandaru mengatakan peningkatan bonus berbentuk THR tersebut tidak dilakukan dengan serampangan.

Pemerintah sudah mengkaji lama untuk menentukan besaran THR tersebut. THR juga tidak diberikan secara sembarangan. Bonus tersebut diberikan untuk memacu kinerja dan produktivitas PNS.

"Jadi itu dilakukan karena mempertimbangkan tugas yang harus diemban PNS juga," tutur Otok.


Kebijakan populis

Meski mendatangkan senyum bagi Uni, kebijakan tersebut memantik kritik. Salah satu kritik datang dari Wakil Ketua DPR Fadli Zon.

Melalui akun Twitternya, politikus Partai Gerindra tersebut menuduh Jokowi tengah menerapkan kebijakan populis demi mengangkat citranya di depan 4 juta lebih PNS.

Maklum saja, satu tahun lagi, rakyat Indonesia akan menggelar pemilihan presiden. Jokowi dicalonkan lagi oleh PDIP dan sejumlah partai menjadi presiden untuk kedua kalinya.

Anggota Badan Komunikasi DPP Partai Gerindra Andre Rosiade mengatakan ada alasan kuat menuduh Jokowi tengah menggenjot popularitas di masyarakat dengan menggenjot kebijakan populis.

Menurut catatan Gerindra, selain THR PNS, Jokowi juga menggeber program pencitraan lain. Program pencitraan lain yang paling nyata serta sudah mulai dilakukan adalah menaikkan tunjangan bagi para Bintara Pembina Desa (Babinsa).

Per Juli kemarin pendapatan operasional Babinsa yang biasanya hanya Rp310 ribu per bulan dinaikkan 771 persen menjadi Rp2,7 juta.

Selain kenaikan tunjangan Babinsa, kebijakan populis lain yang juga dilancarkan Jokowi adalah menaikkan bantuan sosial untuk masyarakat kurang mampu.

Bombardir Bonus THR, Pilpres dan Jokowi (EMBG)Penyaluran bantuan sosial. (ANTARA FOTO/Yusran Uccang)

Peningkatan bantuan sosial paling besar dilakukan untuk Program Keluarga Harapan (PKH).

Pada 2019, pemerintahannya akan menggelontorkan anggaran Rp32 triliun untuk membantu 10 juta keluarga penerima manfaat, naik hampir dua kali lipat jika dibandingkan tahun ini yang hanya Rp17 triliun.

Sedangkan kebijakan populis lain, berkaitan dengan harga BBM dan tarif listrik.

Di tengah kenaikan harga minyak dunia yang sudah tembus di atas US$70 atau Rp1,09 juta per barel dan nilai tukar rupiah yang sudah berada di level Rp14.400 per dolar Amerika Serikat (AS), Jokowi masih nekad mempertahankan tarif listrik dan harga BBM.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menyatakan tarif dan harga tersebut akan dipertahankan sampai dengan 2019 mendatang.

"Jadi, apalagi namanya kalau bukan kebijakan populis," kata Andre kepada CNNIndonesia.com pekan kemarin.


Bantahan Istana

Namun, tuduhan tersebut ramai-ramai langsung dibantah oleh tim Jokowi.

Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Ahmad Erani Yustika mengatakan untuk kebijakan listrik dan BBM, keputusan untuk tidak mengubah harga dan tarif dilakukan murni mempertimbangkan aspek ekonomi.

Pemerintah tidak ingin di tengah kondisi ekonomi yang sedang tidak menentu, daya beli masyarakat terganggu akibat kenaikan harga BBM dan tarif listrik.

Apalagi, listrik dan BBM berdasarkan data BPS Maret 2018 kemarin menjadi dua dari 10 komponen belanja yang berkontribusi pada angka kemiskinan. Untuk kemiskinan di kota, kontribusi BBM dan listrik mencapai 4,36 persen dan 3,89 persen.

Untuk kemiskinan di desa, kontribusi BBM mencapai 3,69 persen. "Jadi pertimbangannya murni aspek ekonomi," katanya.

Sementara itu, untuk peningkatan bantuan sosial, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan peningkatan anggaran tidak dilakukan secara tiba-tiba. Kenaikan anggaran dilakukan dengan proses dan perencanaan matang.


Proses sudah dimulai sejak 2016 lalu. Agar penurunan kemiskinan bisa dipercepat angka keluarga penerima manfaat dan anggaran PKH saat itu dinaikkan secara bertahap dari yang 2015 hanya untuk 3,5 juta menjadi untuk 6 juta keluarga miskin penerima manfaat.

Dengan PKH tersebut per keluarga miskin mendapat bantuan berkisar Rp300 ribu per tahun. Tapi, bantuan bisa mencapai Rp2,8 juta bila rumah tangga miskin tersebut memiliki anak sekolah, ibu hamil, dan balita.

Pada 2017 dan 2018, cakupan tersebut diperluas ke 10 juta keluarga miskin dengan bantuan Rp1,89 juta per keluarga.

"Jadi tidak ada kaitannya dengan politik, kami maunya dari awal besar, tapi tidak gampang karena butuh kesiapan birokrasi dan data," katanya.

Selain berproses lama, Bambang mengatakan bahwa peningkatan anggaran juga dilakukan karena program tersebut sukses mengurangi kemiskinan. Data BPS menunjukkan bahwa selama periode 2015 sampai dengan 2018, angka kemiskinan turun 2,7 juta, salah satunya karena program tersebut.


Di sisi lain, Andre Rosiade mengatakan walau kalah start, kubunya tidak takut. Ia yakin kebijakan populis Jokowi tidak akan mengubah pandangan masyarakat.

Masyarakat akan lebih banyak melihat kegagalan Jokowi selama memerintah ketimbang kebijakan populisnya."Masyarakat sudah rasional dan cerdas," katanya.

Dan anggapan Andre barangkali ada benarnya.

Buktinya, Uni mengatakan bahwa gelontoran bonus besar yang diberikan Jokowi untuk PNS pada Lebaran 2018 kemarin tidak akan ia gunakan sebagai patokan untuk memilih pemimpin pada 2019 mendatang.

"Dan yang bisa diukur di depan mata saya ya pembangunan infrastruktur, itu lebih mengena dan akan membuat saya memilih dia ketimbang THR," terang dia. (asa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER