Anjloknya mata uang negara di kawasan Eurasia itu rupanya dipicu oleh ketergantungan modal dan utang asing yang sangat besar. Utang berdenominasi dolar AS, baik yang berjangka pendek maupun panjang tersebut semakin lama kian menggunung.
Utang tersebut dipupuk sejak 2008, kala krisis keuangan melanda beberapa negara. Krisis itu, membuat lembaga keuangan di Turki gencar mencari suntikan modal asing agar bisa menyalurkan ke perusahaan domestik. Harapannya, ekonomi kembali menggeliat.
Namun, malang tak dapat ditolak Turki. Usaha pemulihan ekonomi yang mereka jalankan rupanya tak berjalan mulus.
Ditengah upaya perbaikan ekonomi yang macet tersebut, biaya pinjaman kian meningkat dan memberi beban utang yang berlipat. Utang luar negeri pemerintah dan swasta Turki tercatat mencapai US$453,2 miliar pada akhir 2017 atau meningkat dua kali lipat dari 2009.
Sedangkan per Maret 2018, utang luar negeri yang telah jatuh tempo mencapai US$181,8 miliar. Peningkatan beban utang ini juga dipengaruhi oleh terapresiasinya indeks dolar AS dalam beberapa waktu terakhir.
"Kondisi tersebut membuat Turki menjadi rentan karena sebagian besar pendanaan dilakukan dalam waktu kurang dari satu tahun," ucap Kepala Strategi Pasar Berkembang Bank Swedia SEB Per Hammarlund, seperti dikutip dari
CNN.com, Senin (13/8).
Selain terlilit utang, Turki juga menderita defisit neraca transaksi berjalan
(Current Account Deficit/CAD). Tercatat, CAD Turki dalam tiga tahun terakhir terus meningkat, dari U$33,1 miliar pada 2016, US$47,3 miliar pada 2017, dan US$51,6 miliar dalam 8 bulan terakhir tahun ini.
CAD diperkirakan sudah lebih 5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) karena aliran impor Turki juga cukup deras. Tak ketinggalan, inflasi juga melambung hingga menyentuh kisaran 11 persen, sehingga dikhawatirkan akan menekan perekonomian.
Kondisi semakin parah akibat kepentingan politik Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan yang ingin kembali mencari suara jelang Pemilihan Umum (Pemilu) tahun ini dan sanksi ekonomi AS yang menerapkan bea masuk tinggi atas impor baja dari Turki.
Untuk politik, Erdogan diduga mempengaruhi bank sentral Turki, Central Bank of the Republic of Turkey dan bank-bank domestik untuk menurunkan tingkat bunga agar bank dapat menyalurkan kredit lebih banyak ke masyarakat, sehingga ekonomi bisa terangkat.
Atasi TekananUntuk mengatasi pelemahan Lira, bank sentral Turki sebenarnya sudah berupaya menaikan suku bunga acuannya sebanyak 300 basis poin (bps) dari 13,5 persen menjadi 16,5 persen pada Mei 2018.
Namun, langkah itu rupanya tak berbuah manis. Lira masih saja tertatih-tatih. Pada akhir pekan kemarin, lira justru kembali terdepresiasi sekitar 16 persen dari dolar AS.
Awal pekan ini, bank sentral Turki kembali memberi stimulus bagi pemulihan lira. Caranya, dengan menurunkan batas pencadangan bank domestik di bank sentral Turki atau dikenal dengan istilah Giro Wajib Minimum (GWM).
GWM primer diturunkan sekitar 250 bps untuk semua tenor dan GWM sekunder diturunkan sebanyak 400 bps. Dengan penurunan ini, pasar keuangan negara tersebut setidaknya mendapat tambahan likuditas sekitar 10 miliar lira, yang terdiir dari uang lira dan emas.
Langkah ini agaknya mampu memberi sedikit angin segar kepada lira. Sebab, nilai tukar lira setidaknya terangkat dari sebelumnya mencapai 7,24 per dolar AS pada akhir pekan lalu.
[Gambas:Video CNN]