Jakarta, CNN Indonesia -- Belum hilang kekhawatiran dampak pelemahan lira, mata uang
Turki, kini Indonesia harus menghadapi bayang-bayang tekanan dari krisis yang menimpa
Argentina.
Ekonomi Argentina terkontraksi sekitar satu persen pada tahun ini dari kuartal kedua lalu sebesar 3,6 persen. Inflasinya pun berpotensi membengkak hingga lebih dari 30 persen dari posisi saat ini 23,17 persen.
Sederet masalah itu memicu depresiasi nilai tukar peso, mata uang Argentina, hingga 40,79 persen. Kondisi ini memaksa bank sentral Argentina untuk mengguyur cadangan devisa sekitar US$200 juta demi menyelamatkan peso. Sebelum itu, bahkan cadangan devisa yang digelontorkan mencapai US$12,88 miliar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, upaya itu tidak membuahkan hasil. Mau tak mau, Presiden Argentina Mauricio Macri mencari bala bantuan. Opsinya, mengajukan pinjaman sekitar US$50 miliar ke International Monetary Fund (IMF). Permintaan itu segera diamini IMF, meskipun tak kunjung melegakan pasar.
Investor dan pasar uang Argentina tetap akan diselimuti kekhawatiran dan risiko keluarnya dana asing. Gejolak ini tidak boleh dipandang sebelah mata oleh Indonesia, sama seperti halnya ketika Turki terpuruk. Demi berjaga-jaga, tak ada salahnya Indonesia memasang kuda-kuda.
Seperti yang dilakukan Bank Indonesia (BI) saat mengerek suku bunga acuannya jadi 5,5 persen. BI menilai kondisi ekonomi negara berkembang sudah masuk radar. "Beberapa negara berkembang, kami perhatikan di India, Turki, Argentina, Brasil, sekarang tekanan nilai tukar mata uangnya cukup besar," ujar Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo belum lama ini.
Ekonom Senior Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan Indonesia boleh waspada. Meski demikian, dampaknya tidak akan besar terhadap Indonesia, apalagi ikut terpuruk seperti halnya Turki dan Argentina.
Krisis Turki memberi risiko besar terhadap pergerakan nilai tukar rupiah, bursa saham, termasuk pasar obligasi. Namun, itu pun karena ketiganya memang sensitif dengan sentimen negatif. "Sentimen itu membuat Indonesia dikategorikan sama dengan negara berkembang lainnya," imbuh dia, Kamis (30/8) malam.
Dalam catatan Andry, saat kabar Turki terpuruk, rupiah terdepresiasi 0,83 persen, imbal hasil obligasi Indonesia naik 23,9 basis poin menjadi 7,93 persen, dan bursa saham terkoreksi 3,9 perse ke level 5.861. Arus modal asing pun mengalir keluar hingga Rp648,9 miliar.
Namun, sentimen Turki itu 'hanya' memberi risiko menengah pada sektor perbankan. Sedangkan utang asing, perdagangan, dan investasi Indonesia 'aman' dari sentimen negara di kawasan Eurasia itu.
Pasalnya, pinjaman asing Indonesia dari kawasan Eropa hanya sekitar 0,56 persen dari total pinjaman. Lalu, porsi ekspor Indonesia ke Turki sekitar 0,69 persen dari total nilai ekspor, sedangkan porsi impor Turki ke Indonesia hanya 0,34 persen pada 2017.
Begitu pula dengan investasi, realisasinya aliran modal dari negara itu ke Tanah Air hanya sekitar US$1,6 juta atau kurang dari 1 persen total investasi yang didapat Indonesia. "Jadi dampaknya ke Indonesia tidak lebih banyak," terang dia.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan menambahkan dampak sentimen Turki yang tak besar itu juga akan dialami Indonesia dari gejolak Argentina. Hal ini karena fundamental ekonomi Indonesia yang jauh lebih kuat.
Pertumbuhan ekonomi nasional berkisar 5,27 persen pada kuartal kedua ini. Sementara, Argentina cuma 3,6 persen. Indonesia juga menjaga inflasinya di ksiaran 3,25 persen. Sedangkan inflasi di Turki sudah mencapai 12,8 persen dan Argentina 23,17 persen.
Kemudian, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) Indonesia berada di angka 1,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada akhir tahun lalu. Sedangkan, CAD Argentina mencapai 4,8 persen dari PDB dan CAD Turki menyentuh 5,5 persen.
Tingkat suku bunga acuannya di Indonesia, sambung dia, relatif hati-hati dan konservatif di level 4,25 persen pada akhir tahun lalu. Sementara, Turki mencapai 8 persen dan Argentina tembus 29,5 persen. "Ini menunjukkan kebijakan moneter lebih prudent di Indonesia, sangat dijaga," jelas Anton.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menuturkan dampak gejolak ekonomi kedua negara tidak akan besar secara langsung kepada Indonesia. Namun, tetap perlu diwaspadai.
"Karena apa yang terjadi di Argentina baru-baru ini menambah ketidakpastian dari tekanan global yang harus dihadapi Indonesia," ungkapnya.
Soalnya, tekanan ekonomi eksternal ke Indonesia sejatinya tidak berkurang dari hari ke hari, melainkan bertambah saat fundamental ekonomi 'pas-pasan.' Walaupun, Piter optimistis fundamental ekonomi Indonesia masih bisa lebih baik apabila disandingkan dengan kedua negara yang tengah bergejolak tersebut.
"Yang terpenting saat ini, Indonesia harus bisa mengukur sendiri daya tahan tubuhnya, meski sumber penyakitnya tidak banyak. Mungkin, yang paling harus diperhatikan defisit transaksi berjalan," tandasnya.
(bir)