Jakarta, CNN Indonesia --
Harga minyak dunia nyaris tak bergerak pada perdagangan Senin (17/9), waktu Amerika Serikat (AS). Pasalnya, pasar masih terbebani oleh eskalasi
tensi perdagangan antara AS dan China yang dianggap dapat menggerus permintaan minyak mentah global.
Di saat bersamaan, pasokan
minyak mentah berpotensi mengetat akibat sanksi dari AS terhadap Iran. Dilansir dari
Reuters, Selasa (18/9), harga minyak mentah berjangka turun tipis sebesar US$0,04 menjadi US$78,05 per barel.
Penurunan tipis juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$0,08 menjadi US$68,91 per barel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senin (17/9) kemarin, penasihat Gedung Putih Larry Kudlow memperkirakan AS akan segera mengumumkan tambahan tarif baru terhadap US$200 miliar produk impor dari China.
Pada Sabtu (15/9) lalu, pemerintah AS menyatakan Presiden AS Donald Trump kemungkinan akan mengumumkan tarif baru tersebut paling cepat Senin (17/9), awal pekan ini.
"(Pengenaan tarif) Itu berpotensi menjadi penghambat permintaan dan itu alasan kondisi pasar mengarah ke zona merah," ujar Direktur Energi Berjangka Mizuho Bob Yawger di New York.
Pasar modal AS merosot pada perdagangan Senin (17/9), membebani harga minyak mentah berjangka. Hal itu disebabkan oleh ekspektasi terhadap pemerintah AS yang akan memberlakukan tarif baru, diikuti oleh upaya retaliasi dari China.
Di sisi lain, harga minyak mentah mendapatkan sokongan dari potensi berkurangnya pasokan akibat pengenaan sanksi AS terhadap Iran. Sanksi akan efektif berlaku pada sektor perminyakan Iran pada 4 November 2018 mendatang.
Dalam catatan Bank of America Merryl Lynch kepada salah satu kliennya yang dikutip Reuters, Pengiriman ekspor minyak mentah Iran merosot sebesar 580 ribu barel per hari (bph) selama tiga bulan terakhir.
"Kami meyakini bahwa dampak sepenuhnya dari sanksi minyak Iran belum terlihat dan kami merasa bahwa dalam fase antisipasi, lima hingga enam minggu ke depan, akan berkaitan dengan pembelian bermotif spekulatif," ujar Presiden Ritterbusch dan Associates Jim Ritterbusch dalam catatannya.
Ekspor Iran merosot dalam beberapa bulan terakhir mengingat sejumlah negara, termasuk India yang merupakan pembeli kedua terbesar, telah memangkas permintaan sebelum sanksi berlaku pada November mendatang.
Pemerintah AS menargetkan sanksi tersebut dapat menekan ekspor minyak Iran menjadi nol untuk mendorong Teheran kembali menegosiasikan perjanjian nuklir.
Sejak musim semi lalu, pemerintahan Trump mengatakan bakal mengenakan sanksi tersebut, para trader minyak mentah memasukkan premi risiko yang mencerminkan pasokan bakal berkurang saat ekspor minyak Iran dipangkas. Iran merupakan produsen minyak terbesar ketiga dalam Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC).
Menteri Energi Amerika Rick Perry mengatakan kepada
Reuter pada Jumat (14/9) lalu bahwa ia tidak memperkirakan akan ada lonjakan harga minyak dan Arab Saudi, AS, Rusia akan mengerek produksi minyak global. selama 18 bulan ke depan.
Awal pekan ini, Menteri Energi Rusia Alexander Novak menyatakan seluruh skenario yang mungkin terjadi dapat dibicarakan pada pertemuan negara OPEC dan non OPEC yang akan diselenggarakan di Algeria pada bulan ini.
Lebih lanjut, salah seorang petinggi perusahaan minyak pelat merah Arab Saudi, Saudi Aramco, menyatakan perusahaan bakal menghabiskan lebih dari 500 miliar riyal atau sekitar US$133 miliar pada pengeboran minyak dan gas (migas) selama satu dekade ke depan.
(sfr/lav)