Jakarta, CNN Indonesia -- Penerimaan dari sektor minyak dan gas (
migas) tahun depan dipastikan lebih besar dari perkiraan. Hal itu seiring perubahan asumsi produksi minyak siap jual (
lifting) dan nilai tukar
rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF)
Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menyebutkan penerimaan migas tahun depan bisa menembus Rp225,99 triliun atau meningkat dari proyeksi nota keuangan yang sebesar Rp215,79 triliun.
Hal itu dipengaruhi perubahan asumsi nilai tukar dari Rp14.400 per dolar AS menjadi Rp14.500 per dolar AS. Pemerintah juga meningkatkan target lifting minyak dari 750 ribu barel per hari (bph) menjadi 775 ribu bph. dua perubahan asumsi ini telah disepakati pemerintah dengan Badan Anggaran DPR RI.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini sudah mencakup Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor migas serta Pajak Penghasilan (PPh) migas," ucap Suahasil di Gedung DPR, Selasa (19/9).
Secara lebih rinci, ia menaksir PPh migas akan naik menjadi Rp63,95 triliun, dari proyeksi sebelumnya Rp62,28 triliun. Sementara itu, PNBP migas akan naik dari target sebelumnya yakni Rp158,5 triliun menjadi Rp162,05 triliun.
Penerimaan ini tentu sudah dikurangi dengan beban penggantian biaya produksi kepada Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), atau biasa disebut
cost recovery.
Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) Sukandar mengatakan pada tahun depan
cost recovery diperkirakan berada di angka US$10,22 miliar atau Rp148,19 miliar.
Pada awalnya, SKK Migas membuat rentang
cost recovery antara US$8 miliar hingga US$10 miliar. Namun, seiring peningkatan asumsi
lifting tahun depan, tentu akan ada tambahan biasa produksi KKKS. Utamanya di blok Cepu yang dikelola ExxonMobil Cepu Ltd yang digadang akan menjadi tumpuan produksi migas tahun depan.
"Gross revenue kami diperkirakan mencapai US$35,73 miliar, sehingga jika
cost recovery US$10,22 miliar maka cost recovery ini 29 persen dari total penerimaan sektor migas secara kotor," ujar dia.
Ia kemudian merinci beberapa blok yang sekiranya akan mendapatkan
cost recovery terbesar di tahun depan. PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM) yang mengelola blok Mahakam akan mendapat
cost recovery terbesar yakni US$1,2 miliar. Selain itu, Chevron Pacific Indonesia yang mengelola Blok Rokan dan Pertamina EP akan mendapatkan kembali
cost recovery sevaya US$1,15 miliar dan US$1 miliar.
Namun menurutnya, cost recovery tahun depan setidaknya mengempis dari pagu tahun ini US$11,34 miliar. Salah satu alasannya, lanjut Sukandar, adalah jumlah Wilayah Kerja (WK) migas yang sistem kontraknya beralih dari kontrak bagi hasil (
Production Sharing Contract/PSC) cost recovery menjadi PSC
Gross Split.
"Kini sudah ada 12 WK yang berubah kontraknya dari PSC
cost recovery menjadi PSC
Gross Split sehingga
cost recovery di tahun depan bisa ditekan sebanyak US$800 juta hingga US$1 miliar," papar dia.
(glh/lav)