Jakarta, CNN Indonesia -- Tarif jual listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) akan bergantung pada jumlah volume atau besaran sampah yang dimiliki pengelola tersebut.
Berdasarkan data Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dihimpun
Antara, formula penentuan tarif listrik PLTSa digunakan sebagai pengganti harga patokan untuk
energi baru terbarukan (
feed in tarif).
Besaran harga jual listrik dari PLTSa tak hanya bergantung pada jumlah sampah yang dapat diolah, tetapi juga kemampuan pemerintah daerah (Pemda) dalam memungut biaya pengelolaan sampah per meter kubik atau
tipping fee di daerahnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tipping fee merupakan biaya yang dikeluarkan sebagai anggaran pemerintah kepada pengelola sampah, berdasarkan jumlah yang dikelola per ton atau satuan volume meter kubik (m3).
Sebelumnya, Menteri ESDM Ignasius Jonan pernah meminta Pemda memberikan kelonggaran pada aturan tipping fee demi mendorong upaya pengembangan PLTSa.
Jonan menegaskan isu sampah kota bukan merupakan isu utama energi, melainkan isu lingkungan.
"Ini bukan isu energi yang dipertanggungjawabkan kepada kami sebagai penanggung jawab sektor. Sampah ini lebih kepada isu daerah, isu lingkungan," tegas Jonan.
Menurut Jonan, Kementerian ESDM berkontribusi atas pengelolaan sampah pada bagian pengaturan harga jual listrik PLTSa dan menugaskan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sebagai pembeli listrik.
Atas dasar tersebut, Jonan meminta kepada pemda untuk lebih proaktif dalam mengelola sampah. Apabila berkenan membangun pembangkit listrik berbasis sampah, Jonan berharap pemda setempat memberikan kelonggaran pada aturan
tipping fee.
Meski begitu, Jonan tetap mendorong semua kota besar di Indonesia agar iuran pengelolaan sampah dimanfaatkan untuk kelistrikan.
"Saya mendorong semua kota besar agar pengelolaan sampah bisa menjadi listrik dengan syarat
tipping fee-nya dikasih," ujarnya.
(antara/lav)