Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Koordinasi Penanaman Modal (
BKPM) ingin kesiapan terhadap bencana bisa menjadi pertimbangan bank sebelum menyalurkan pendanaan untuk proyek infrastruktur. Kesiapan tersebut diinginkan Kepala BKPM
Thomas T Lembong terkait banyaknya gempa yang merusak infrastruktur vital di tanah air.
Ia mengatakan seharusnya kesiapan investor dalam menganalisa dampak bencana pada proyek infrastruktur
dihitung ke dalam kriteria pendanaan yang diberikan perbankan. Tak hanya itu, perbankan dan lembaga keuangan seharusnya juga mendesak investor untuk mengasuransikan proyeknya sebelum mau menyalurkan pembiayaan.
"Ini kami harap bisa menjadi faktor kalkulasi dalam kredit atau kriteria pendanaan bagi infrastruktur agar tahan bencana alam. Tentu kami semua harus belajar dari bencana alam yang terjadi beberapa waktu terakhir," ujar Thomas di kantornya, Rabu (3/10).
Ia melanjutkan, selama ini aspek ketahanan bencana tak pernah disorot oleh investor. Di samping itu, ia juga berharap investor bisa belajar membangun infrastruktur di Indonesia sarat akan risiko bencana alam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maka dari itu, ia berencana untuk membawa topik ini di dalam pertemuan International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia yang akan dihelat di Bali pekan depan. Dalam hal ini, ia akan berbicara di depan pelaku jasa keuangan seperti perbankan, lembaga dana pensiun, manajemen aset yang memiliki ketertarikan di dalam pembiayaan infrastruktur.
"Sehingga jangan sampai infrastruktur yang dibangun ini monoton. Sama seperti infrastruktur yang dibangun sebelum gempa, banjir, badai, atau segala macam bencana lainnya. Dan ini sebetulnya bisa dibantu oleh sektor keuangan," imbuhnya.
Tak hanya investor, jasa keuangan pun disebutnya kurang memberi perhatian kepada manajemen risiko bencana alam di dalam menyalurkan kredit infrastruktur. Namun, justru hal tersebut membuka peluang bagi pendanaan alternatif yang memang mengedepankan mitigasi bencana alam sebagai faktor utama pemberian kredit.
Saat ini, pemerintah sudah punya wadah pendanaan alternatif melalui Pembiayaan Infrastruktur Non Anggaran Pemerintah (PINA). Ia berharap, terdapat skema pendanaan alternatif lain yang mengedepankan risiko bencana sebelum menyalurkan pembiayaan infrastruktur.
"Seiring meningkatnya ekspektasi orang ke penanggulangan bencana, maka ini justru menjadi peluang bagi pendanaan inovatif," pungkas dia.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan pembiayaan perbankan terus meningkat setiap tahun. Kredit infrastruktur di akhir tahun lalu tercatat Rp576 triliun atau meningkat 11,9 persen dibanding tahun sebelumnya Rp518 triliun.
Sementara itu, data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan, Indonesia membutuhkan pendanaan infrastruktur sebanyak US$359,2 miliar antara tahun 2015 hingga 2019 mendatang. Angka tersebut terdiri dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) US$148,2 miliar, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) US$79,8 miliar, dan partisipasi swasta senilai US$131,1 miliar.
(glh/agt)