Jakarta, CNN Indonesia --
Bursa saham negara-negara berkembang merosot ke posisi terendah dalam 17 bulan terakhir pada Selasa (9/10). Pelemahan terjadi akibat Dana Moneter Internasional (
IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan global di tahun ini dan tahun depan dengan tekanan pada ekonomi
negara berkembang yang kemungkinan diterpa arus modal keluar.
Kepala ekonom Dana Moneter Internasional Maurice Obstfeld, mengatakan kerentanan pasar negara berkembang terhadap guncangan global telah meningkat.
Indeks saham
emerging market MSCI turun 0,1 persen, di bawah posisi terendah pada Mei 2017.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saham-saham
blue chip China masih melemah setelah sempat mencatatkan satu hari penurunan terbesar dalam dua tahun terakhir. Penurunan tersebut terjadi seiring kekhawatiran terhadap pertumbuhan, meskipun Beijing telah mengumumkan langkah-langkah untuk mendukung ekonomi di tengah tensi perang dagang dengan AS yang meningkat.
Sengketa kedua negara ini telah melukai sentimen terhadap mata uang negara-negara berkembang, terutama negara-negara pengimpor minyak seperti Turki dan India. Kedua negara itu terjepit oleh harga minyak mentah yang naik ke level tertinggi beberapa tahun dalam beberapa bulan terakhir.
Yuan China stabil dengan kecenderungan menguat pada Selasa (9/10), setelah anjlok ke titik terendah dalam tujuh tahun terakhir pada Senin (8/10).
"Ditambah dengan
risk appetite yang goyah, ini menimbulkan
headwinds untuk EM FX
(emerging markets foreign exchange) untuk saat ini," tulis Chris Turner, kepala strategi valuta asing ING, dalam sebuah catatan.
Ekonomi AS yang kuat telah menyebabkan Federal Reserve menaikkan suku beberapa kali tahun ini, meningkatkan imbal hasil pemegang dolar dan membuat aset pasar berkembang yang berisiko kurang menarik. Patokan hasil surat utang AS bertenor 10 tahun mencapai titik tertinggi sejak Mei 2011 pada hari Selasa.
Lira Turki melemah 0,2 persen di tengah isu yang meningkat terkait dengan hilangnya jurnalis Saudi, Jamal Khashoggi dan pernyaaan menteri keuangannya bersiap untuk mengumumkan dimulainya "pertarungan penuh melawan inflasi".
Inflasi Turki mencapai hampir 25 persen pada bulan September, tertinggi dalam 15 tahun.
"Jika rencana itu termasuk janji pemerintah untuk meningkatkan upah sektor publik sesuai dengan inflasi yang ditargetkan, itu harus diambil secara positif," tulis Berna Bayazitoglu dari Credit Suisse dalam sebuah catatan.
(agi)