Jakarta, CNN Indonesia --
Pelaku industri makanan dan minuman mengaku kehilangan keuntungan sekitar 3-5 persen akibat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Tergerusnya margin terjadi karena pelaku usaha memilih tidak mengerek harga produk demi mempertahankan daya beli masyarakat.
"Kalau bahan baku makin banyak impor, (penurunan margin) makin tinggi, tetapi rata-rata 3-5 persen," kata Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (GAPMMI) Adhi S Lukman kepada CNNIndonesia.com, Selasa (9/10).
Adhi memaparkan pelaku industri akan mempertahankan harga produk hingga akhir tahun. Awal tahun 2019 nanti, mayoritas pelaku industri makanan dan minuman siap menaikkan harga hingga 5 persen untuk menutupi penurunan margin.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akan tetapi, besarnya kenaikan harga bergantung dari perkembangan nilai tukar rupiah yang sifatnya masih fluktuatif. Artinya, jika rupiah makin anjlok, maka terbuka peluang angka kenaikan harga makin besar.
"Kalau menaikkan harga sekarang risiko cukup besar, omset penjualan bisa turun, kondisinya malah lebih parah lagi," sambung Adhi.
Untuk itu, Adhi meminta pemerintah memberikan kompensasi atas pelemahan nilai tukar rupiah bagi industri makanan dan minuman. Salah satunya, melalui efisiensi regulasi sehingga bisa membantu dunia usaha memangkas biaya.
Mereka juga berharap agar pemerintah meningkatkan kerjasama penurunan tarif bea masuk dengan negara tujuan eskpor. Pelaku industri makanan dan minuman juga mulai berupaya untuk mencari alternatif bahan baku dalam negeri.
Sayangnya, ada keterbatasan pada industri hulu dalam menyediakan pasokan bahan baku bagi industri makanan dan minuman."Di hulu masih belum tersedia dengan baik, sehingga tidak bisa menunjang kebutuhan industri," papar Adhi.
Sekadar informasi, nilai tukar rupiah berada pada posisi Rp15.238 per dolar AS pada perdagangan pasar spot sore ini. Rupiah kembali turun 20 poin atau 0,13 persen dibandingkan posisi kemarin sore, Senin (8/10) di Rp 15.218 per dolar AS.
(ulf/agt)