Jakarta, CNN Indonesia -- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (
YLKI) mendesak manajemen PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) selaku pengembang proyek
Meikarta untuk menjelaskan kepada publik mengenai kelanjutan megaproyek hunian Meikarta.
Beberapa waktu lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin dan Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro. Hal itu membawa kekhawatiran bagi para calon pembeli properti.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menjelaskan OTT terhadap pejabat Bekasi dan direksi Lippo Group membuat konsumen khawatir mengenai keberlanjutan proyek Meikarta. Seperti diketahui, proyek properti tersebut hingga kini belum tuntas sepenuhnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau sampai proyek Meikarta diberhentikan akibat perizinan yang belum atau tidak beres, atau masalah lain, maka negara harus hadir," papar Tulus dalam keterangan resmi, dikutip Rabu (17/10).
Menurut Tulus, negara perlu ikut campur untuk memastikan hak konsumen yang sudah melakukan transaksi pembelian unit di Meikarta. Pasalnya, masalah perizinan proyek Meikarta juga tak lepas dari tanggung jawab negara.
"Bagaimanapun hal ini merupakan tanggung jawab negara dan merupakan kegagalan negara dalam melakukan pengawasan," terang Tulus.
Lebih lanjut Tulus menuturkan jika pihaknya sejak awal telah memperingatkan masyarakat untuk tidak melakukan transaksi pembelian di salah satu unit Meikarta.
Masalahnya, isu tentang perizinan pembangunan proyek Meikarta sebenarnya bukanlah hal baru, melainkan sejak awal proyek itu diumumkan oleh manajemen Lippo Group pada tahun lalu.
"YLKI kembali menegaskan agar masyarakat berhati-hati untuk rencana transaksi pembelian dengan Meikarta, daripada nantinya timbul masalah," jelas Tulus.
Apalagi, sambung Tulus, YLKI banyak mendapatkan pengaduan masalah properti sepanjang tahun ini. Tercatat, pengaduan tentang properti menduduki urutan pertama pertama, di mana 43 persen pengaduan tersebut berasal dari konsumen Meikarta dengan jumlah 11 kasus.
"Mayoritas pengaduan terkait uang muka yang tidak bisa ditarik lagi padahal kalau di iklan bisa dikembalikan," pungkas Tulus.
(aud/lav)