Jakarta, CNN Indonesia -- Kasus penipuan developer
properti kian marak terjadi. Jika sudah begini,
konsumen lah yang terpaksa merugi. Impian memiliki hunian yang direncanakan sejak lama pun terpaksa pupus.
Tak lupa dari ingatan, bagaimana pengembang apartemen Royal Afatar World (RAW) dan Royal Mutiara Residence (RMR) di Sidoarjo, Jawa Timur, Sipoa Grup tidak kunjung merealisasikan proyeknya meski konsumen sudah membayar uang muka dan mengangsur cicilan hingga 23 kali.
Selain itu, terdapat pula aksi lain yang dilakukan PT Bandung International Property yang merupakan kelompok usaha dari Syna Group. Perusahaan itu memberlakukan skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) secara mandiri (
in house), namun hunian yang diinginkan konsumen tak kunjung terbangun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengaduan konsumen atas kelalaian pengembang pun kerap ada hampir setiap tahun. Data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pertengahan tahun lalu menunjukkan, 60 aduan dari total 642 pengaduan berkaitan dengan pembelian properti. Meski memang, angka ini menurun dibanding tahun lalu sebanyak 123 pengaduan.
Oleh karenanya, konsumen harus berhati-hati sebelum membeli hunian impian. Nah, di sini peran aktif konsumen dibutuhkan agar tak mudah tertipu.
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan pengembang yang baik tentu punya rekam jejak yang mumpuni. Seharusnya, langkah ini kian kian mudah lantaran kemajuan teknologi. Semua perusahaan tentu memiliki rekam jejak digital.
Kedua, konsumen harus berani meminta dokumen perizinan kepada pengembang. Kunci paling aman, lanjut dia, adalah ketika pengembang minimal sudah bisa menunjukkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
"Karena seharusnya, pengembang yang baik ini baru bisa memasarkan rumah setelah izin-izin yang dikantongi terbit semua. Jadi ketika ditawari rumah, mintakan saja semua izin yang dimiliki oleh pengembang tersebut," ujar Ali.
Saat ini, memang ada beberapa pengembang yang sudah memasarkan rumahnya dengan sistem prapenjualan resmi (
presale) sebelum pengembang mendapatkan izin resmi. Cara ini, lanjut Ali, sebetulnya lumrah dilakukan pengembang karena membutuhkan arus kas cepat untuk mengembangkan proyeknya.
Namun, di sisi konsumen, hal ini dipandang tidak elok karena ada indikasi penyalahgunaan kepercayaan konsumen. Masyarakat boleh-boleh saja membeli rumah dengan cara seperti ini, namun tentu risikonya tinggi sekali.
 Ilustrasi KPR. (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman) |
Untuk itu, sebelum membeli rumah dengan skema ini, konsumen harus aktif menanyakan kepada pengembang mengenai jadwal terbitnya izin-izin tersebut. Tak hanya itu, konsumen juga perlu memastikan bahwa pengembang yang memberlakukan skema itu tercatat sebagai anggota Real Estat Indonesia (REI) atau Asosiasi Pengembangan dan Pemukiman Rumah Seluruh Indonesia.
"Yang harus diperhatikan pertama kali adalah izin, dan kebanyakan konsumen tidak jeli di sini," jelasnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal REI Paulus Totok Lusida mengatakan konsumen wajib meminta izin lokasi dan kepemilkan lahan untuk menghindari modus pengembang bodong. Dua dokumen ini, beserta IMB, bisa menjadi jaminan bahwa proyek benar-benar akan terealisasi.
Ia juga bilang, seluruh izin-izin ini sepatutnya ditempel di dinding kantor pemasaran atau stan milik pengembang jika sang developer membuka lapaknya di pameran. Sebab, REI sudah mengimbau anggotanya untuk memasang izin-izin tersebut kala memasarkan produknya.
"Kalau memang tidak ditempel, konsumen sangat berhak untuk meminta dokumen perizinannya. Tidak ada alasan bagi developer untuk menolak memberikan dokumen perizinan," jelas dia.
Selain itu menurutnya, ciri-ciri developer yang baik bisa terlihat dari skema pembayaran rumah yang ditawarkan. Biasanya, developer berkualitas selalu meminta pembayaran melalui KPR inden, bukan KPR in-house. Celah penyelewengan tanggung jawab sangat tinggi jika uang konsumen langsung masuk ke kantong pengembang.
Yang terpenting, lanjut Paulus, adalah memastikan pengembang tersebut adalah anggota REI. "Ini agar kami tindak langsung jika nantinya terjadi kelalaian," jelas dia.
Di samping itu, REI akan membantu advokasi konsumen jika terdapat penyelewengan yang dilakukan anggotanya. Untuk itu, masyarakat bisa menghubungi DPD REI setempat sebelum melaporkan kasusnya ke ranah hukum.
Menurutnya, advokasi dari REI sebenarnya cukup membantu konsumen. Ia berkaca dari kasus Sipoa Grup, di mana salah satu anggota REI sudah memberikan referensi mengenai proses bisnis yang tidak sehat di dalamnya. REI sendiri mengaku sudah memanggil Sipoa Grup tiga kali untuk menindak aksi penyelewengan itu.
Hanya saja, saat itu tidak ada korban yang menyampaikan keluhannya kepada REI, sehingga REI tak bisa memproses laporannya ke Kepolisian Daerah Jawa Timur. Sayangnya, langkah preventif itu tak manjur. Kasus Sipoa Grup baru meledak setahun setelahnya.
"Pengaduan ke REI ini bisa kolektif atau individu, jadi tak usah takut mengadu ke kami. Setelah itu kami bantu proses hukumnya ke kepolisian, karena polisi baru bisa memproses kasus jika ada pengakuan dari korban," imbuh dia.
Jangan Ragu Bawa Ke Ranah HukumJika konsumen sudah kepalang terkena jebakan pengembang nakal, maka ada baiknya kasusnya dibawa ke ranah hukum jika kasus itu sudah benar-benar merugikan. Namun, Praktisi Hukum dari ADCO Attorneys at Law Rizky Dwinanto mengungkapkan, konsumen harus memverifikasi beberapa kelengkapan sebelum benar-benar menempuh jalur hukum.
Langkah paling awal, lanjut dia, adalah memastikan bahwa konsumen benar-benar tidak bersalah. Yakni dengan memeriksa kembali klausul yang terdapat di dokumen Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) antara pengembang dan konsumen.
Biasanya di dalam PPJB, terdapat kewajiban yang perlu dilakukan konsumen dan ada pula kewajiban yang harus dilakukan pengembang. Jika konsumen sudah melaksanakan isi PPJB, maka konsumen harus berani melawan pengembang nakal.
Namun, ia menyarankan masyarakat untuk tidak langsung mengajukan gugatan. Ada baiknya sang pengembang diberikan somasi terlebih dulu untuk menunaikan tugasnya.
"Biasanya kasus yang umum terjadi adalah developer tidak melaksanakan atau membangun rumahnya, nah ini bisa disomasi terlebih dulu. Gunanya untuk memberi penegasan bahwa konsumen sudah melakukan kewajibannya dan pengembang juga perlu untuk melakukan tugasnya," jelas Rizky.
Jika somasi tak diindahkan pengembang, baru konsumen bisa melakukan tindakan hukum. Dalam hal ini, konsumen bisa memilih tiga gugatan, yakni perdata, pidana, atau diselesaikan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Masyarakat bisa menyelesaikan kasusnya secara perdata dengan dalih wanprestasi BPJB yang dilakukan oleh pengembang. Jika ingin melanjutkan kasusnya di ranah pidana, konsumen bisa menggugat pengembang yang dituding melanggar UU Perumahan atau UU Konsumen.
Adapun di dalam pasal 8 ayat (1) huruf f Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.
Sementara itu, konsumen bisa menggugat pengembang jika tidak memberikan perumahan yang tidak sesuai dengan kriteria, spesifikasi dan persyaratan yang diperjanjikan, di mana ini diatur di dalam pasal 134 UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Dengan terbukanya opsi ini, masyarakat diberi keleluasan lebar untuk mengambil langkah hukum. Hanya saja, masyarakat harus cermat melihat kasus yang sedang dialaminya.
"Semua langkah hukum ini terbuka, masyarakat bisa memilih mana langkah hukum yang paling menguntungkan. Tentu saja, semua datang dengan pro kontranya tersendiri," pungkasnya.
(agi/agi)