ANALISIS

Antara Klaim Surplus Kementan dan Harga Jagung 'Selangit'

ulf | CNN Indonesia
Jumat, 26 Okt 2018 14:37 WIB
Kementerian Pertanian mengklaim produksi jagung surplus. Namun, di sisi lain, kalangan peternak dan pengusaha pakan teriak harga jagung melambung.
Ilustrasi jagung. (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas).
Jakarta, CNN Indonesia -- Cita-cita swasembada pangan Kementerian Pertanian (Kementan) sepertinya perlu dikaji ulang. Pasalnya, klaim surplus yang kerap digaungkan boleh dibilang cuma di atas kertas.

Tengoklah, kondisi komoditas jagung saat ini. Klaim Kementan selalu surplus. Memang, apabila mengacu data Kementan, produksi jagung pada 2017 lalu sekitar 28,92 juta ton dan diproyeksikan mencapai 30,43 juta ton pada akhir tahun ini. Angka yang tidak main-main besarnya.

Apalagi, melihat data konsumsinya yang hanya sekitar 15,56 juta ton sampai akhir tahun nanti, berarti ada surplus sekitar 14,87 juta ton tahun ini. Tak salah jika Kementan melihat mimpi swasembada pangan sudah di depan mata.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Mereka (petani dan peternak) tidak tahu informasi jagung sebenarnya ada. Ini masalah komunikasi dan distribusi saja. Harga mulai turun, jagung mulai ada. Jagungnya memang ada, tapi masalah komunikasi dan distribusi," tutur Sekretaris Jenderal Kementan Syukur Iwantoro, Rabu (24/10).


Kenyataannya, sejumlah peternak dan pabrik pakan ternak di Blitar, Jawa Timur dan Jawa Tengah teriak 'tercekik' harga jagung. Kenapa jagung? Karena, 50 persen komposisi pakan ternak berasal dari jagung. Para peternak dan pabrik pakan ternak ini menyebut harga jagung 'selangit'. Belum lagi, pasokannya yang langka.

Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) dan Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN), misalnya yang menyebut harga jagung di pasar saat ini menyentuh Rp5.200 per kilogram (kg). Harga itu terpaut jauh dari harga acuan tingkat konsumen untuk pembelian dan penjualan, yakni Rp4 ribu per kg.

Wajarlah, Departemen Pertanian Amerika Serikat (AS), seperti dikutip Kepala Bidang Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi mengatakan bahwa tingkat konsumsi jagung di Indonesia selalu melampaui produksinya sejak 2016-2018.

Lagipula, sambung dia, tingkat kecukupan pasokan terhadap konsumsi mudah dibaca dari harganya. Kalau harga mahal bisa diasumsikan produk tersebut sulit ditemui atau paling tidak memang tidak memenuhi kebutuhan.


"Sehingga, ganjil kalau kita bisa klaim surplus, karena satu petani mengeluh barang langka. Dan, kalau melihat statistiknya, produksi kita memang jauh lebih sedikit dari konsumsinya," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (26/10).

Produksi yang kurang umumnya ditutup dengan impor. Namun, upaya itu pun dibatasi. Sejak 2016, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/3/2016 tentang Impor Jagung membatasi pemenuhan kebutuhan pakan hanya dilakukan oleh Bulog, setelah mendapat penugasan dari pemerintah. Hal itu tertuang jelas di pasal 4.

Akibatnya, Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa merinci impor jagung pada 2016 lalu turun drastis hingga 2,2 juta ton, dari sebanyak 3,5 juta ton pada 2015 menjadi hanya 1,3 juta ton.

Dari Jagung ke Gandum

Pabrik pakan yang kelimpungan mencari jagung sebagai bahan baku pun terpaksa beralih ke gandum impor. Tidak tanggung-tanggung, impor gandum pakan tersebut sempat tercatat 3,2 juta ton pada 2016.


Namun, Andreas melanjutkan impor gandum untuk pakan kembali dibatasi. Pembatasan itu memaksa produsen pakan ternak untuk beralih ke gandum pangan (bukan pakan) yang harganya lebih mahal ketimbang gandum pakan.

"Yang realistis saja kalau mengambil kebijakan. Ada mapping (pemetaan) yang jelas. Kita sangat setuju upaya swasembada jagung, tapi bukan sekadar membatasi impor untuk menunjukkan swasembada. Konyol sekali kalau seperti itu," tegas Andreas.

Hizkia mengutarakan pendapat serupa. Malah, ia mengaku khawatir jika pemerintah memaksakan kehendaknya akan mendorong kenaikan harga pangan, utamanya telur dan daging ayam lebih mahal lagi.

"Nyatanya, kita belum bisa produksi dalam jumlah yang cukup maupun kualitas mumpuni untuk kebutuhan pakan ternak. Bukan hanya bagi industri ya, tapi juga peternak kecil," imbuh dia.

Ganjil Klaim Surplus di Saat Harga Jagung 'Selangit'Estimasi produksi dan konsumsi jagung Kementan 2018. (CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi).

Dugaan Poles Data

Sebetulnya, berkaca pada beras, yang sempat membuat ribut-ribut antar kementerian terkait dan Bulog, peranan data sangat penting. Sebab, kekeliruan data bisa memicu pengambilan kebijakan yang tak tepat sasaran.

Karenanya, tak salah jika agenda pemerintah ke depan membenahi data produksi jagung seperti halnya memperbarui data produksi beras. "Semua data pangan, saya rasa, harus dibenahi. Kalau data tak akurat, bagaimana kita ambil putusan yang tepat," jelas Hizkia.


Hal senada disampaikan oleh Pengamat Pertanian dan Direktur Pusat Penelitian Sustainable Food Studies Universitas Padjajaran Ronnie S Natawijaya. Ia bahkan menduga Dinas Pertanian di Kabupaten atau Provinsi memoles data produksi jagung karena ada anggaran untuk mendorong produksi jagung.

"Logikanya, karena dana terserap semua, kemudian di daerah itu harusnya penanaman meningkat, walaupun di lapangan tidak ada jaminan produksi meningkat," terang dia. (bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER