Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi
Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menilai ada itikad buruk dalam transaksi pembiayaan, baik dari
peminjam maupun dari perusahaan teknologi berbasis keuangan (financial technology/fintech) yang bermasalah.
Hal itu menanggapi pemberitaan terkait ada beberapa peminjam dana fintech yang mengaku 'tercekik' dengan bunga utang yang disyaratkan perusahaan. Nasabah kemudian mengadukan hal itu ke Lembaga Bantuan Hukum (
LBH) Jakarta.
Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoko menilai ada itikad buruk dari perusahaan fintech yang bermasalah dan dikeluhkan nasabahnya ke LBH Jakarta. Sebab, berdasarkan pemeriksaan asosiasi, fintech diklaim tidak terdaftar di AFPI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebenarnya semua fintech bisa mendaftar ke OJK. Artinya, kalau mereka memang mau berbisnis secara benar, seharusnya mengikuti aturan yang ada," ucapnya.
Sekretaris AFPI Dino Martin menambahkan, karena fintech bermasalah itu tidak terdaftar di AFPI dan OJK, maka langkah penanganan atas kasus-kasus seperti ini seharusnya diselesaikan di ranah hukum, yaitu ke pihak Kepolisian.
"Tapi ini bukan diselesaikan di kami, tapi secara independen, dengan pengacara, yang menangani di bidang hukum. Kecuali kalau masuk ke hotline kami, baru kami lakukan mediasi dan ada peneguran dengan surat resmi," jelasnya.
Di sisi lain, beberapa peminjam dana fintech yang mengaku terbebani oleh bunga pinjaman fintech. Nyatanya, sambung Sunu, dari pengakuan peminjam yang mengadu ke LBH Jakarta, mereka memang melakukan pinjaman pada beberapa fintech sekaligus.
Menurut Sunu, hal ini menandakan ada itikad buruk dari peminjam karena tak meminjam sesuai batas kondisi keuangan. Padahal, peminjam seharusnya mengetahui batas kemampuan mereka ketika meminjam. Terlebih, ketentuan dan perjanjian pinjaman biasanya sudah diberitahukan fintech.
"Ada beberapa peminjam yang meminjam sampai ke sembilan fintech, apalagi orangnya itu-itu saja. Ini yang harus dilihat secara jeli, jadi bisa saja bukan tidak mampu bayar, tapi niat awalnya mengemplang," ujarnya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (6/11).
Lebih lanjut, menurutnya, sekalipun memang peminjam benar-benar tidak bisa melunasi pinjamannya, fintech juga akan mencari solusi agar pengembalian dana bisa dilakukan.
Sebelumnya, LBH Jakarta mengaku mendapat banyak aduan terkait cara penagihan pinjaman yang sudah melanggar hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Data LBH Jakarta mencatat setidaknya ada 10 pengaduan dari 283 korban pelanggaran hukum dan HAM sejak 2016.
Dari aduan tersebut, beberapa laporan menyebutkan bahwa peminjam merasa data pribadinya diambil dari aplikasi. Lalu, penagihan dilakukan secara berlebih oleh debt collector.
Debt collector menghantui para peminjam dengan menagih utang kepada keluarga, kolega atau siapapun yang ada di kontak ponsel peminjam. Peminjam juga merasa 'ngeri' ketika mengetahui bahwa pinjaman yang mereka lakukan ternyata bunganya tak terbatas.
Selain itu, penagihan yang dilakukan lebih menyerupai teror yang tak kenal waktu dan tempat. Penagih bahkan mengancam akan menyebarkan foto yang diambil dari ponsel peminjam ke sosial media. Korban juga diarahkan untuk membayar utang dengan cara apapun bahkan menjual diri hingga menjual organ tubuh asalkan utang dibayar.
(uli/lav)