Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga Bantuan Hukum (
LBH) Jakarta menyebut sebagian perusahaan teknologi finansial (
fintech) pinjam meminjam
(P2P lending) yang diduga melakukan penagihan secara kasar, terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (
OJK).
Pengacara Publik LBH Jakarta Jeannya Silvia Sari Sirait menjelaskan 10 pengaduan yang diterima pihaknya di tahap awal mewakili sekitar 283 orang. Meski ada yang mengadu secara perorangan, rata-rata pengaduan dilakukan secara berkelompok.
"Dari 10 pengaduan, (
fintech yang diadukan) ada yang sudah terdaftar dan belum terdaftar, tapi ya sama-sama melakukan pelanggaran juga," ujar Pengacara Publik LBH Jakarta Jeannya Silvia Sari Sirait di Jakarta, Selasa (6/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jean menjelaskan rata-rata korban yang mengadu, terlilit utang pada lebih dari 10
fintech. Bahkan, ada korban yang memiliki utang pada 35
fintech. "Jarang yang cuma satu-dua, bahkan sampai ada yang (terjerat) 35 aplikasi," imbuh Jeanny.
Kendati demikian, Jeanny mengaku pihaknya tak akan membuka identitas perusahaan-perusahaan
fintech tersebut. Hal itu dilakukan guna memudahkan proses advokasi korban.
Kepala Bidang Perkotaan dan Masyarakat Urban LBH Jakarta Nelson Nikodemus Simamora menceritakan korban-korban yang terjerat belasan hingga puluhan
fintech lantaran tak paham skema pengembalian pinjaman. Mereka tak siap membayar bunga utang sehingga akhirnya membayarkan cicilan pada satu
fintech dengan meminjam dari
fintech lain.
"Yang jadi masalah adalah mereka tidak dijelaskan. Di surat perjanjian menurut penuturan mereka juga enggak jelas, bunganya cuma sekian, kalau terlambat enggak dijelaskan berapa," terangnya,
Pada umumnya, aduan para korban aplikasi pinjaman
online ini adalah terkait dengan penagihan utang yang kasar dan bunga pinjaman yang tinggi. Atas dasar itu, LBH Jakarta mulai membuka posko pengaduan korban pinjaman
online selama 4-25 November 2018. Hingga Senin (5/11) sore, LBH Jakarta sudah menerima 50 pengaduan.
Asosiasi Bantah
Sementara itu, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengklaim
fintech yang belakangan diadukan lantaran melakukan penagihan pinjaman secara kasar merupakan
fintech ilegal atau tak terdaftar di OJK.
Wakil Ketua Umum AFPI Sunu Widyatmoko mengatakan status ilegal tersebut ditemukan dari hasil pemeriksaan asosiasi. Pemeriksaan itu menyimpulkan beberapa
fintech yang dikeluhkan bukan merupakan anggota asosiasi dan tidak terdaftar di OJK. Saat ini, anggota asosiasi berjumlah 73 perusahaan.
"Mereka adalah penyelenggara pinjaman
online yang tidak legal dan tidak terdaftar di OJK. Kami tidak pernah menerima komplain atas anggota kami, baik di AFPI maupun di Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech)," ucapnya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (6/11).
Lebih lanjut, menurutnya, asosiasi bisa memastikan anggotanya tidak melakukan tindakan penagihan pinjaman secara kasar atau tak patut karena para anggota sudah menyepakati tata cara penagihan yang wajar.
Bahkan, asosiasi terus mengimbau anggota agar segera memiliki sertifikasi ISO/ICE 27001 terkait sistem manajemen penanganan informasi sesuai dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 4 Tahun 2016.
"Ada standarisasi dan sertifikasi bagi proses penagihan yang dilakukan oleh para anggota AFPI kepada konsumen. Prosesnya sesuai dengan kode etik yang telah disetujui anggota," jelasnya.
Ia bilang, sertifikasi ini merupakan bagian dari manajemen risiko sekaligus menjaga keamanan data kepada setiap layanan yang diberikan kepada konsumen. Selain itu, sertifikasi sengaja dibuat karena asosiasi menyadari bahwa tata cara penagihan merupakan hal yang kerap dipermasalahkan, sehingga perlu ditentukan standar bersama.
"Tapi ini sebenarnya bukan hal baru, kami sudah lakukan ketika di Aftech, makanya kami pakai komite etik, itu juga adopsi dari Aftech dulu," terangnya.
Wakil Ketua Eksekutif untuk Pendanaan Multiguna AFPI sekaligus CEO Uang Teman Aidil Zulkifli memastikan standar penagihan yang telah disepakati asosiasi dan diterapkan di perusahaan
fintech-nya tetap wajar.
"Praktik penagihan
soft saja, kami tidak kasar, sudah ada SOP di Uang Teman juga. Kalau tidak sesuai, itu akan kami pecat," katanya.
Ia bilang, saat ini ada dua jenis penagihan yang dilakukan Uang Teman, yaitu secara
online dan manual. Untuk penagihan manual, karyawan perusahaan akan menghubungi peminjam melalui telepon dan secara langsung.
"Tapi
collect-nya oleh karyawan kami. Itu bukan datangi ke rumah nasabah, tapi kalau sudah janjian untuk
collect," jelasnya.
Merasa DirugikanAFPI pun merasa dirugikan dengan maraknya pemberitaan terkait keluhan-keluhan masyarakat terkait
fintech tersebut. Padahal, menurut mereka,
fintech tersebut bukan anggota asosiasi dan tidak terdaftar di OJK.
"Faktanya ada banyak, mungkin ratusan pinjaman
online yang tidak teregristrasi di OJK. Tapi apa yang dilakukan mereka merusak industri yang sedang kami coba tata," ungkap Sunu.
Menurutnya, kehadiran
fintech ilegal tersebut bisa saja membuat masyarakat khawatir untuk melakukan pinjaman kepada
fintech. Ia bilang, hal ini tak hanya memberi dampak pada proses pengembangan bisnis
fintech, namun juga semangat inklusi keuangan.
Untuk itu, AFPI meminta masyarakat bisa lebih jeli dalam memilih
fintech yang akan digunakan layanan pinjamannya. Di sisi lain, asosiasi memastikan akan terus berkoordinasi dengan anggota dan OJK untuk menggiatkan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat.
"Kata kuncinya memang edukasi. Sekarang kami juga lakukan edukasi ke LBH dan pihak hukum. Kami ingatkan juga calon nasabah," pungkasnya.
(bin/uli/agi)