Jakarta, CNN Indonesia -- Kabar baik bagi PT
Merpati Nusantara Airlines (Persero) datang dari Pengadilan Niaga Surabaya siang ini, Rabu (14/11). Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran (PKPU)
BUMN penerbangan tersebut akhirnya dikabulkan.
Dengan pengabulan PKPU tersebut, mimpi Merpati untuk kembali 'terbang' pada tahun depan kian dekat. Apalagi, manajemen perusahaan mengklaim ada investor yang sudah siap menyuntikkan dana segara sekitar Rp6,4 triliun.
PT Intra Asia Corpora, perusahaan yang terafiliasi dengan PT Asuransi Intra Asia dan PT Cipendawa digadang-gadang bakal menjadi calon investor baru Merpati. Intra Asia, sebenarnya bukan pemain baru di dunia penerbangan. Perusahaan pernah mengambihalih bisnis Kartika Airlines, maskapai penerbangan bertarif rendah yang melayani penerbangan domestik beberapa tahun silam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, hanya lima tahun berselang sejak Kartika diambilalih pada 2005 oleh Intra Asia, operasional maskapai akhirnya harus benar-benar berhenti pada 2010 karena tidak memenuhi kelayakan jumlah armada.
Pengamat penerbangan sekaligus Anggota Ombudsman Republik Indonesia Alvin Lie Ling Piao menilai rencana investor masuk ke Merpati dan menerbangkan kembali maskapai yang berhenti operasi pada 1 Februari 2014, sangat tidak menguntungkan dari kacamata bisnis.
Pertama, prospek bisnis Merpati sejatinya sudah benar-benar padam. Menurut Alvin, seharusnya tak ada lagi investor yang mau membangun Merpati karena beban utang maskapai terlalu tinggi.
Pada akhir 2017, perusahaan memiliki beban utang kepada kreditur sekitar Rp10,72 triliun. Aset perusahaan juga kian menipis dan hanya tersisa Rp1,21 triliun, sementara ekuitas minus Rp9,51 triliun.
Dengan kondisi keuangan tersebut, Alvin menyebut, suntikan modal Rp6,4 triliun sejatinya tak berarti apa-apa. Meski hingga kini bisnis perawatan (
maintenance) pesawat masih berlangsung, ia menilai menghidupkan Merparti tak cukup menguntungkan dari sisi bisnis.
"Kalau pun ada yang ingin menyuntikkan dana, khawatirnya dana itu hanya cukup untuk menyelesaikan permasalahan lama, seperti pesangon tenaga kerja dan utang yang harus dibayarkan. Jadi dana segar tidak cukup untuk
start operasional," ucapnya kepada
CNNIndonesia.com, Selasa (13/11).
 Serikat kerja Merpati berdemo menuntut pembayaran pesangon. (CNNIndonesia/Adhi Wicaksono) |
Selain memiliki beban keuangan yang tinggi, tidak ada reputasi dan citra yang cukup menarik dan bisa meyakinkan investor untuk menerbangkan Merpati lagi.
"Nama sudah dilupakan,
brand image tidak bagus, logo tidak punya nilai komersil, izin sudah tidak ada, pesawat tidak ada, karyawan harus dari nol lagi. Nanti pakai pilot mana? Pilot impor? Pilot kan harus dididik agar mendapatkan jam terbang. Apa yang diharapkan?" katanya.
Kedua, sulit bagi Merpati kembali mengambil posisi di pasar penerbangan Indonesia. Sebab, kondisi pasar penerbangan saat ini sudah konsolidasi, yaitu dikuasai oleh dua grup besar, yaitu Lion Air dan Garuda Indonesia.
"Kalau pun ada yang kecil-kecil, itu mereka menjual hal yang spesifik, misalnya kargo, carter, atau penerbangan ke daerah terpencil," imbuhnya.
Selain itu, amunisi dan strategi yang digadang-gadang Mepati juga kurang meyakinkan. Misalnya, manajemen perusahaan mengklaim akan menggunakan pesawat buatan Rusia untuk kembali mengudara ke-10 destinasi wisata di Tanah Air.
"Pesawat Rusia itu tidak cukup bagus, tingkat
safety-nya juga sering kecelakaan. Bahkan, Rusia sendiri sudah mulai menggunakan Boeing dan lainnya. Apalagi tujuan penerbangan sebenarnya sudah dikuasai maskapai lain," tuturnya.
Ketiga, minim pengalaman dari calon investor. Investor yang akan masuk ke Merpati, Intra Asia Corpora, memang bukan pemain baru karena pernah mengelola bisnis Kartika Airlines. Sayangnya, maskapai tersebut juga sudah berhenti operasi sejak 2010 lalu.
"Artinya, pengalaman investor itu merupakan pengalaman ketika ia bersaing dengan pasar penerbangan sekitar 10 tahun lalu. Sedangkan sekarang lingkungan dan aturan mainnya sudah berubah, tidak mumpuni lagi pengalaman itu," terangnya.
Keempat, ia menduga ada maksud lain dibalik pengoperasian kembali Merpati, yaitu karena permasalahan keuangan yang sudah menahun dan tak ada jalan keluar lain. Padahal, pemerintah telah menggelontorkan investasi besar untuk memulai bisnis maskapai sejak berdiri pada 1962 silam.
"Curiganya, ini hanya untuk mengamankan jabatan pejabat Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Seolah-olah bisa mengoperasikan, tapi hanya menyelesaikan kewajiban saja. Akhirnya, terlalu optimis, tapi tidak realistis," katanya.
Senada, pengamat penerbangan dari Jaringan Penerbangan Indonesia (Japri) Gerry Soejatman menilai bisnis Merpati tak cukup meyakinkan lagi. Namun, bukan berarti upaya untuk menghidupkan perusahaan sudah pasti gagal.
Ia menilai, dari sisi jumlah penumpang memang bisnis transportasi udara mendapat keuntungan dari besarnya jumlah populasi masyarakat Indonesia. Apalagi, moda transportasi udara kian diminati. Hanya saja, hukum pasar 'produk mana yang paling menarik dan menguntungkan' tetap berlaku bagi industri ini.
"Harus ada sesuatu, seperti produk, pelayanan, strategi khusus yang membuat orang mau naik Merpati lagi. Apalagi, masyarakat sudah
move on dari Merpati ke maskapai-maskapai lain," ujarnya.
Strategi itu, katanya, harus dilihat perusahaan dari berbagai sisi. Mulai dari penggunaan pesawat, rute penerbangan, pemasaran, citra maskapai, dan lainnya. Misalnya, ketika Merpati nantinya akan bermain di rute 10 destinasi wisata, apa yang sekiranya membuat Merpati bisa lebih unggul ketimbang maskapai lain.
"Misalnya, mau main carter, itu kan sebenarnya sedang tidak
booming. Kalau ambil penumpang dari luar negeri juga, itu harus kerja sama dengan operator Asia, Eropa, dan lainnya, itu proses panjang," terangnya.
Dengan berbagai hal yang harus ditanggung dan dipersiapkan, maka seharusnya investor punya alasan yang kuat untuk mau masuk ke Merpati dan membuatnya terbang lagi. Bila dihubungkan, menurutnya, mungkin saja investor yang ingin masuk ke Merpati saat ini memang sudah memiliki kerja sama bisnis dengan perusahaan pesawat dari Rusia.
Perlu diingat, Intra Asia Corpora yang pernah mengelola bisnis Kartika Airlines, sebenarnya pernah memiliki kerja sama bisnis terkait pembelian 15 pesawat Sukhoi Superjet 100 dari Rusia pada 2008 lalu. Namun, pembelian itu akhirnya dibatalkan karena Kartika tetap tidak bisa memenuhi kelayakan jumlah armada sesuai dengan aturan main yang ditetapkan Kementerian Perhubungan.
"Mungkin salah satu faktornya adalah hubungan lama. Mungkin tujuannya mereka mau
showcase di luar Rusia, sehingga pakai pesawat dari sana," pungkasnya.
CNNIndonesia.com sudah mencoba mengkonfirmasi kepada Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Aloysius Kiik Ro Kementerian BUMN. Namun, hingga kini belum ada jawaban resmi.
(agi)