Jakarta, CNN Indonesia --
Harga minyak mentah dunia menguat sekitar 1 persen pada perdagangan Rabu (14/11), waktu Amerika Serikat (AS). Penguatan dipicu oleh prospek Organisasi Negara Pengekspor Minyak (
OPEC) dan sekutunya bakal kembali memangkas produksi pada pertemuan bulan depan.
Pemangkasan produksi yang sebelumnya dilakukan pada 1 Januari 2017 hingga pertengahan tahun ini itu dilakukan demi mengerek harga.
Dilansir dari
Reuters, Kamis (15/11), harga minyak mentah Brent ditutup naik US$0,65 atau 1 persen menjadi US$66,12 per barel. Selama sesi perdagangan berlangsung, Brent sempat menyentuh level US$67,63 per barel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$0,56 atau 1,01 persen menjadi US$56,25 per barel setelah selama 12 hari tertekan hingga ke level terendah sejak November 2017.
Harga minyak mentah menguat setelah Reuters melaporkan OPEC dan sekutunya tengah membicarakan proposal pemangkasan produksi sebesar 1,4 juta barel per hari (bph), lebih besar dari yang sebelumnya disebutkan oleh sumber Reuters 1 juta bph.
Namun, dalam perdagangan pasca penutupan, harga minyak mentah kembali merosot setelah Institur Perminyakan Amerika menyatakan persediaan minyak mentah naik sekitar 8,8 juta barel menjadi 440,7 juta barel pada pekan yang berakhir 9 November 2018. Sebagai pembanding, para analis memperkirakan kenaikan persediaan minyak mentah AS hanya akan berkisar 3,2 juta barel.
Pasar minyak tengah menghadapi tekanan dari melonjaknya produksi dari OPEC, Rusia, AS, dan sejumlah produsen lainnya. Selain itu, tekanan juga berasal dari kekhawatiran terhadap perlambatan perekonomian global yang dapat memangkas permintaan energi.
Kedua faktor tersebut telah menekan harga acuan global Brent lebih dari 20 persen sejak awal Oktober 2018, salah satu penurunan terbesar sejak anjloknya harga pada 2014.
"Pasar telah tertekan selama beberapa pekan terakhir dan kejutan hari ini terkait pembicaraan tentang produsen yang dapat memangkas produksi hingga 1,4 juta bph pada 2019," ujar Wakil Kepala Riset Pasar Tradition Energy Gene McGilian di Stamford, Connecticut, AS.
Menurut McGillian, sebagian ketakutan akan kelebihan pasokan dan berkurangnya permintaan mungkin telah dimasukkan ke dalam harga di pasar. Namun, ia tidak yakin harga telah menyentuh level terendahnya.
Seiring anjloknya harga minyak sejak menyentuh level tertingginya di Oktober, harga gas alam berjangka NGc1 melesat hingga 56 persen sejak Oktober 2018.
Indeks Kekuatan Relatif (RSI) untuk Brent dan minyak mentah AS tetap berada di level 30. Indeks tersebut secara teknis dianggap sebagai sinyal pasar telah jatuh terlalu jauh.
"Pasar ini tengah mencari level harga terendah setelah mengalami penurunan elama 12 hari berturut-turut yang belum pernah terjadi sebelumnya," ujar Presiden Ritterbusch and Associates Jim Ritterbusch.
Dalam laporan bulanannya, Badan Energi Internasional (IEA) menyatakan perkiraan awal kenaikan persediaan minyak global pada paruh pertama 2019 adalah dua juta bph.
IEA juga tidak mengubah proyeksi untuk permintaan minyak global untuk 2018 dan 2019 dari bulan lalu. Namun, IEA memangkas proyeksi untuk pertumbuhan permintaan dari negara non-OECD yang merupakan mesin dari ekspansi konsumsi dunia.
Sementara, Badan Administrasi Informasi Energi AS (EIA) pekan ini menyatakan produksi minyak mentah AS dari tujuh cekungan shale utama diperkirakan bakal mencapai 7,94 juta bph pada Desember.
Melesatnya produksi telah membantu produksi minyak AS secara umum untuk mencetak rekor 11,6 juta bph, membuat AS menjadi produsen minyak terbesar dunia di atas Rusia dan Arab Saudi.
Kebanyakan analis memperkirakan produksi AS bakal menanjak ke atas 12 juta bph pada paruh pertama 2019. Kenaikan produksi AS bakal mengerek persediaan stok minyak mentah.
(sfr/agi)