Jakarta, CNN Indonesia -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai
inflasi yang mampu terjaga pada kisaran 3-4 persen seharusnya diiringi dengan peningkatan
pertumbuhan ekonomi. Namun, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini justru stagnan di kisaran 5 persen.
Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati mengatakan negara-negara tetangga dengan tingkat inflasi rendah justru memiliki tren pertumbuhan ekonomi positif. Hal itu ditandai dengan kenaikan level pertumbuhan ekonomi.
"Yang cukup siginifikan pertumbuhannya adalah Vietnam, Filipina, dan Malaysia. Pertumbuhan ekonominya relatif meningkat. Kenapa Indonesia tidak? Inflasi kita terjaga tapi pertumbuhan ekonomi kita stagnan," kata Enny di ITS Tower, Kamis (15/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Enny menduga pertumbuhan ekonomi stagnan disebabkan inflasi harga pangan yang bergejolak atau volatile food cenderung masih tinggi, meskipun inflasi umum terbilang rendah.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut dalam tujuh tahun terakhir inflasi,
volatile food selalu lebih tinggi dari inflasi umum pada periode Lebaran dan akhir tahun. Di sisi lain, BPS menyebut porsi pengeluaran dari 40 persen kelompok masyarakat kelas bawah, mayoritasnya atau sekitar 70-75 persen untuk pangan.
"Artinya kalau porsi kontribusi harga pangan paling dominan ke inflasi, meksipun inflasi rendah niscaya itu tidak punya kontribusi dongkrak pertumbuhan ekonomi,"
Dalam kesempatan yang sama Wakil Direktur Indef Eko Listiyanto memaparkan tren inflasi global saat ini memang tengah turun, baik di negara maju maupun negara berkembang. Bahkan tingkat inflasi beberapa negara tetangga sebenarnya lebih rendah ketimbang Indonesia.
Malaysia misalnya, mencatatkan inflasi sebesar 0,50 persen, kemudian Thailand sebesar 1,50 persen pada kuartal III 2018. Bahkan negara dengan populasi terpadat, China hanya mencatat inflasi 2,3 persen, sedangkan tingkat inflasi Indonesia 2,90 persen pada periode yang sama.
"Artinya fenomena global inflasi sedang turun. Jadi pantaskah kita klaim (inflasi rendah) sebagai bentuk keberhasilan?" ujarnya.
Eko juga menyebut rentang target inflasi yang digunakan BPS perlu dievaluasi. Sebab, Inflation Targeting Framework (ITF) atau kerangka target inflasi yang dipergunakan BPS saat ini terlalu lebar sehingga sulit untuk mengukur keberhasilan pencapaian target inflasi.
"ITF sudah digunakan sejak Juni 2005 dari situ tidak pernah ada koreksi. Dulu mungkin target inflasi 3 plus minus 1 persen cukup relevan karena inflasi dulu rata-rata double digit, jadi harus ada koreksi," kata Eko.
(ulf/agi)