Jakarta, CNN Indonesia -- Nilai tukar
dolar Amerika Serikat (AS) melemah terhadap mata uang utama lain pada Senin (19/11), seiring pernyataan pejabat
Federal Reserve terkait kehati-hatian atas prospek pertumbuhan ekonomi global. Hal itu juga mendorong pelaku pasar mengkhawatirkan laju kenaikan
suku bunga AS di masa mendatang.
Greenback telah menikmati penguatan yang tinggi tahun ini, berkat pengetatan kebijakan The Fed yang stabil di tengah penguatan ekonomi AS. Kenaikan suku bunga untuk keempat kali yang tahun ini diperkirakan terjadi pada Desember 2018. Pembuat kebijakan mengindikasikan terjadi kenaikan suku bunga dua kali lagi pada Juni 2019.
Dikutip dari
Reuters, Wakil Ketua The Fed Richard Clarida memperkirakan terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi global yang dinilai dapat berpengaruh pada prospek ekonomi AS.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senada dengan hal itu, Presiden Federal Reserve Bank of Dallas Robert Kaplan juga memperkirakan terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi di Eropa dan China.
Beberapa komentar tersebut mengisyaratkan bank sentral AS bersiap untuk memperlambat laju pengetatan moneter. Hal itu menyebabkan pelaku pasar menafsir reli dolar mendekati periode akhir.
"Secara pasti, pelaku pasar menafsirkan pernyataan ini sebagai dovish (sikap kebijakan pelonggaran ekonomi). Namun, The Fed selalu bergantung pada data dan sejauh ini biasanya tidak mengejutkan," kata Kepala Strategi Pasar CMC Markets Michael McCarthy.
Secara rinci, indeks dolar terhadap enam mata uang utama lain melemah tipis di level 96,45. Nilai itu menambah pelemahan 0,5 persen pada Jumat lalu. Sebelumnya, indeks dolar ini telah mencapai nilai tertingginya dalam 16 bulan terakhir di level 97,69 pada 12 November silam.
Saat itu, nilai yen naik tipis ke level 112,68 dolar dan dolar telah kehilangan nilainya hingga 0,9 persen terhadap yen pekan lalu. Hal itu diindikasikan terjadi karena para pelaku pasar beralih ke mata uang Jepang yang menjadi aset aman (
safe haven).
Di sisi lain, Poundsterling juga merosot pada level US$1,2832. Hal ini terjadi di tengah gejolak rencana British Exit (
Brexit) oleh Perdana Menteri Inggris Theresa May.
Sejak meluncurkan rancangan kebijakan pemisahan Inggris dari Uni Eropa, May menghadapi banyak kendala. Beberapa menteri pendukung mengundurkan diri, sementara sejumlah anggota parlemen lain berusaha untuk menggulingkan posisinya.
(mjs/lav)