Jakarta, CNN Indonesia --
Harga minyak mentah dunia menguat tipis pada perdagangan Selasa (4/12), waktu Amerika Serikat (AS). Penguatan terjadi di tengah kekhawatiran pasar terhadap pelemahan permintaan akibat
perang dagang AS-China. Selain itu, kekhawatiran terhadap sikap enggan Rusia untuk menyepakati kebijakan pemangkasan produksi juga turut menahan penguatan harga minyak.
Dilansir dari
Reuters, Rabu (5/12), harga minyak mentah AS berjangka West Texas Intermediate (WTI) naik US$0,3 menjadi US$53,25 per barel. Selama sesi perdagangan, harga WTI sempat terdongkrak hingga US$54,55 per barel.
Penguatan tipis juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka Brent sebesar US$0,39 menjadi US$62,08 per barel setelah menyentuh level US$63,58 per barel. Kedua harga acuan sedikit melemah dalam perdagangan usai penutupan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Harga minyak melemah dari kenaikan sebesar empat persen yang terjadi pada perdagangan di awal pekan. Penguatan harga minyak pada Senin lalu terjadi setelah Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping sepakat untuk menunda eskalasi perang dagang pada pertemuan G20.
Selain itu, penguatan harga pada Senin lalu juga terjadi akibat ekspektasi pemangkasan poduksi yang dilakukan oleh Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya dalam pertemuan pada Kamis (6/12) mendatang di Wina, Austria.
Trump dengan jelas menyatakan ia akan kembali menerapkan tarif impor kepada China jika kedua negara tidak dapat mengatasi perbedaan keduanya.
Komentar tersebut mengecilkan antusiasme pasar dan aksi jual besar-besaran terlihat di pasar saham dan aset lainnya dengan indeks saham Wall Street merosot lebih dari tiga persen pada perdagangan Selasa kemarin. Pasar minyak dunia juga ikut terseret bersama aset lainnya akibat sentimen perdagangan dan pertumbuhan ekonomi.
Empat sumber
Reuters menyatakan OPEC dan sekutunya tengah berupaya mencapai kesepakatan pemangkasan produksi setidaknya 1,3 juta barel per hari (bph). Salah satu hambatan utama berasal dari keengganan Rusia untuk melakukan pemangkasan produksi secara signifikan.
Direktur Riset Pasar Tradition Energy Gene McGillian menilai pasar mulai merasakan ketidakpastian dari perdagangan dan pemangkasan produksi ke depan. Akibatnya, harga minyak kembali melemah.
"Sejumlah optimisme terkait meredanya tensi perdagangan mulai kelihatannya mulai menguap," ujar McGillian.
Menjelang pertemuan OPEC, Menteri Perminyakan Arab Saudi Khalid al-Falih menyatakan terlalu cepat untuk meyakini OPEC dan sekutunya bakal kembali memangkas produksi. Pasalnya, belum ada kesepakatan pada sejumlah poin.
Al-Falih menilai pasokan minyak di pasar berlebih. Namun ia berhati-hati mengingat seluruh anggota OPEC dan sekutunya harus satu suara untuk melanjutkan kesepakatan pemangkasan produksi tersebut.
Di sisi lain, Trump telah menekan Arab Saudi untuk menjaga harga minyak tetap rendah dengan menyalahkan Arab Saudi ketika harga minyak naik.
"Pemangkasan produksi sebesar 1,3 juta bph dari OPEC dan Rusia diperlukan untuk mengimbangi kenaikan besar musiman pada persediaan," ujar Goldman Sachs dalam catatannya.
Goldman Sachs menambahkan kesepakatan OPEC dan Rusia untuk menahan produksi bakal mendorong harga Brent ke level di atas US$60 per barel.
Salah satu kendala OPEC terbesar adalah melesatnya produksi minyak AS yang naik dua juta bph dalam setahun menjadi 11,5 juta bph. Sebagai catatan, mayoritas minyak AS merupakan minyak shale.
Dalam catatan Barclays pada kliennya, produksi minyak di Texas,AS saja telah mencapai 4,69 juta bph pada September. Sebagai pembanding, produksi minyak Irak diperkirakan hanya berksar 4,66 juta bph. Sementara, Irak merupakan produsen minyak terbesar kedua OPEC di belakang Arab Saudi.
Di Kanada, pemerintah provinsi Alberta telah memerintah produsen minyak untuk memangkas produksinya sebesar 325 ribu bph higga kelebihan minyak mentah di lokasi penyimpanan berkurang.
(agi/agi)