Jakarta, CNN Indonesia --
Harga minyak mentah kian hari kian terjungkal. Setelah sempat menyentuh posisi US$80 per barel pada pertengahan Oktober silam, harga minyak Brent kini mendekam di kisaran US$60 per barel.
Banyak alasan yang mendasari lunglainya harga minyak hingga mencapai 20 persen dalam sebulan terakhir. Namun, alasan mendasar adalah membanjirnya pasokan yang melampaui permintaan.
Melesatnya produksi di Amerika Serikat (AS), Rusia, dan sejumlah anggota organisasi negara-negara pengekspor minyak mentah (OPEC) telah mengerek persediaan minyak mentah dan memicu kelebihan pasokan di sejumlah pasar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kondisi penurunan harga minyak yang terus berlangsung ini pun tak mau dilewatkan pemerintah.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Djoko Siswanto mengaku telah memanggil beberapa badan usaha penyalur Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk merespon penurunan harga minyak dunia dengan segera menurunkan harga BBM nonsubsidi. Badan usaha itu tersebut, yakni PT Pertamina (Persero), PT Aneka Kimia Raya Corporindo Tbk (AKR), Vivo, Shell, PT Total Oil Indonesia, dan PT Garuda Mas Energi.
Penurunan ini, lanjut dia, diharapkan bisa terlaksana pada pekan ini dan paling lambat Januari 2019 mendatang. Ia pun mengaku telah mengantongi beberapa komitmen dari badan-badan usaha tersebut. "Mereka semua berkomitmen untuk menurunkan harga," ujar Djoko.
Kenaikan harga BBM nonsubsidi terakhir dilakukan pada Oktober hingga November silam. Kala itu, Pertamina menaikkan harga BBM jenis Pertamax sebesar Rp900 per liter untuk wilayah Jakarta. Sementara itu, harga Pertamax Turbo naik dari Rp10.700 per liter menjadi Rp12.250 per liter.
Tak berapa lama, Shell dan Total juga latah mengikuti Pertamina. Berdasarkan data Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), perusahaan asal Belanda, Shell meningkatkan harga jual BBM-nya dengan kisaran antara Rp200 hingga Rp300 per liter di awal November. Sementara itu, perusahaan asal Perancis, Total menaikkan harga BBM-nya dengan kisaran Rp400 per liter hingga Rp500 per liter.
Namun, melihat pergerakan beberapa saat terakhir, ternyata harga minyak mentah tak benar-benar turun secara linear. Harga minyak malah terbilang cukup fluktuatif.
 Harga minyak mentah Indonesia. (CNN Indonesia/Fajrian) |
Pekan ini, harga minyak bahkan mencatatkan kenaikan. Pada Senin (4/12), harga minyak mentah berjangka Brent dan Amerika Serikat West Texas Intermediate (AS WTI) naik hampir 4 persen. Kenaikan berlanjut pada Selasa (3/12) meski terbilang tipis.
Dilansir dari
Reuters, pada Selasa (3/12), harga minyak mentah AS berjangka West Texas Intermediate (WTI) tercatat sebesar US$53,25 per barel, sedangkan harga minyak mentah berjangka Brent tercatat US$62,08 per barel.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan berpendapat pemerintah terlalu gegabah meminta penurunan harga BBM nonsubsidi kepada badan usaha. Saat ini, menurut dia, harga minyak dunia masih tak menentu, utamanya menjelang pertemuan OPEC di Wina, Austria pada Kamis (6/12) mendatang.
Jika negara-negara tajir minyak itu sepakat memangkas produksi, bisa dipastikan harga minyak dunia akan terkerek kembali. Kalau pun terkoreksi, ia memprediksi harga minyak tak bisa jauh dari kisaran US$65 per barel hingga US$70 per barel di tahun depan.
Pemerhati sektor migas, lanjut dia, kini juga mengantisipasi produksi minyak AS yang kini menduduki peringkat pertama produsen minyak mentah dunia.
"Namanya harga minyak tentu pasti akan selalu fluktuatif, namun akan ada banyak risiko yang menghalangi penurunan harga minyak dunia. Makanya, saya kira ini terlalu gegabah kalau pemerintah dalam mengeluarkan statemen bahwa badan usaha perlu segera menurunkan harga BBM nonsubsidi," jelasnya.
Di samping ramalan harga minyak, permintaan pemerintah kurang berdasar lantaran minyak yang digunakan untuk memproduksi BBM merupakan minyak yang telah dikontrak dua hingga tiga bulan sebelumnya. Dengan kata lain, pembelian minyak mentah oleh badan usaha tentu sesuai harga yang berlaku kala itu.
Dengan demikian, menurut dia, badan usaha sebenarnya tak bisa dipaksa untuk menurunkan harga BBM nonsubsidi pada pekan ini. Penurunan harga BBM nonsubsidi, menurut dia, baru dapat dilakukan pada Januari mendatang, mengingat produksi BBM pada masa itu kemungkinan menggunakan minyak kontrak November yang harganya terpantau landai.
"Paling tidak penurunan BBM nonsubsidi di Januari. Tinggal bagaimana badan usaha memperhitungkan dari segi bisnisnya. Time lag optimal dalam menentukan dampak penurunan harga minyak ke harga BBM memang berkisar antara dua hingga tiga bulan," jelas dia.
Kendati demikian, menurutnya, kebijakan naik turun harga BBM nonsubsidi yang mengikuti fluktuasi harga minyak sebetulnya tidak begitu berpengaruh ke pergerakan inflasi. Sebab, BBM nonsubsidi sebagian besar digunakan untuk konsumsi, bukan untuk kegiatan usaha seperti transportasi maupun logistik.
 SPBU Pertamina. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Namun, kenaikan harga BBM nonsubsidi bisa jadi senjata makan tuan jika itu menyangkut bensin yang dijual oleh Pertamina. Sebab, sebagian besar konsumen Premium kini sudah berpindah menggunakan BBM nonsubsidi seperti Pertalite dan Pertamax. Jika harga dua jenis BBM itu naik lagi, tentu dampaknya ke inflasi bisa cukup besar.
Berkaca pada Februari silam, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan Indeks Harga Konsumen (IHK) untuk kelompok transportasi, jasa keuangan, dan komunikasi meningkat 0,28 persen gara-gara kenaikan harga BBM nonsubsidi. Ini menjadi salah satu biang keladi utama inflasi Februari 2018 yang mencapai 0,99 persen.
Tren itu pun kembali pada Oktober silam, kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar mencatat inflasi bulanan sebesar 0,42 persen dan berkontribusi terhadap inflasi sebesar 1 persen. "Makanya karena BBM nonsubsidi dari Pertamina ini berpengaruh terhadap inflasi, Pertamina menahan harga Pertalite pada Oktober silam dan hanya Pertamax saja yang harganya dinaikkan," kata Mamit.
Sementara itu, pendapat berbeda dilontarkan oleh Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi. Menurut dia, pemerintah sah-sah saja meminta badan usaha untuk menaikkan harga BBM nonsubsidi di tengah harga minyak yang masih bergejolak. Sebab, ada kemungkinan harga minyak masih akan melandai beberapa saat ke depan.
Menurutnya, sentimen pertemuan OPEC memang akan bikin harga minyak terangkat. Namun di sisi lain, sentimen harga minyak yang lebih kuat justru berasal dari negara-negara non-OPEC, utamanya AS dan Rusia sebagai dua produsen minyak teratas dunia.
Ramalan produksi yang makin melimpah dari negara adidaya ini muncul setelah Presiden AS Donald Trump semringah dengan melandainya harga minyak dunia. Kegembiraan itu ia bahkan ia curahkan melalui akun media sosial Twitter pribadinya akhir November lalu.
Selain itu, sentimen juga muncul dari Iran, di mana negara teluk itu masih berniat melakukan ekspor kendati mendapat sanksi dari AS. Namun, produsen minyak terbesar ketiga OPEC ini masih diperbolehkan ekspor minyak ke delapan negara, seperti Korea Selatan, Taiwan, Turki, Yunani, Jepang, China, India, dan Italia.
Perkembangan terakhir, Korea Selatan akan berniat mengimpor minyak lagi dari Iran. Ini menjadi angin segar bagi produksi minyak Iran, setelah negara ginseng itu tak pernah lagi impor minyak dari Iran sejak Mei silam. Jepang pun rencananya akan mengikuti jejak Korea Selatan.
Dengan ini, artinya masih ada kemungkinan suplai minyak mentah dunia akan melimpah dan menyeret harga minyak turun. Apalagi, Iran merupakan negara produsen OPEC terbesar ke-tiga setelah Arab Saudi dan Irak.
Tak hanya harga minyak, kurs rupiah terhadap dolar AS juga tentu berpengaruh ke harga BBM nonsubsidi. Apalagi, rupiah sudah mengalami apresiasi kuat dalam sebulan terakhir. Jika di bulan lalu nilai tukar di kisaran Rp15.200 per dolar AS, saat ini nilai tukar bertengger di kisaran Rp14.200 per dolar AS.
"Bahkan mungkin harga minyak dunia bisa jadi menyentuh US$30 per barel seperti dua tahun lalu. Jadi saya pikir, pemerintah sah-sah saja meminta penurunan harga BBM saat ini. Kebijakan ini tak terburu-buru kok," jelas dia.
Perubahan harga BBM nonsubsidi juga bisa dengan cepat dilakukan karena ada regulasi yang mendukung hal tersebut. Beleid yang dimaksud adalah Peraturan Menteri ESDM Nomor 34 Tahun 2018, di mana badan usaha tak usah lagi mendapat persetujuan Menteri ESDM untuk mengubah harga BBM nonsubsidi, cukup melaporkan saja.
Namun, Penurunan harga BBM nonsubsidi menurutnya harus dilakukan pertama kali oleh Pertamina. Sebab, perusahaan pelat merah itu mengambil porsi terbesar penjualan BBM domestik.
Jika Pertamina menurunkan harga BBM nonsubsidi, badan usaha lainnya tentu akan menyesuaikan harga agar pasarnya tak tergerus. "Pertamina dengan kapasitas lebih besar ini berperan sebagai market leader. Kalau harga Pertamina tidak turun, maka yang lain harganya juga tidak turun," pungkasnya.
(agi)