Jakarta, CNN Indonesia -- Ibarat sinterklas yang tak pernah lupa memberi kado Natal kepada setiap anak dalam cerita dongeng, bursa saham juga membawa berkah bagi pelaku pasar pada setiap pengujung tahun.
Jika mengamati pola pergerakan saham dari tahun ke tahun, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tak pernah sekalipun mendarat di zona merah menjelang momentum Natal dan Tahun Baru. Pelaku pasar selalu dimanjakan oleh cuan hasil investasi di pasar modal.
Terbukti, sejak 2001 hingga sekarang, indeks saham selalu bergerak dengan tingkat pertumbuhan bervariasi mulai dari 0,42 persen sampai 11,99 persen. Pencapaian pertumbuhan tertinggi terjadi pada 2003 lalu dan terendah pada 2013.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada 2017, pertumbuhan indeks sepanjang Desember tercatat sebesar 6,77 persen. Angkanya meningkat dibanding Desember 2016 yang hanya 2,87 persen.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa perusahaan manajer investasi menjadi pemeran utama dalam mengerek IHSG dengan melakukan
window dressing.
Window dressing merupakan upaya perusahaan manajer investasi untuk mempercantik portofolionya pada akhir tahun dengan memborong saham-saham yang masuk dalam daftar portofolio investasi perusahaan.
Kepala Riset Kapital Indonesia Alfred Nainggolan mengatakan aksi
window dressing selalu sukses menarik minat pelaku pasar ritel untuk memborong saham setiap Desember. Ini khususnya terhadap saham emiten yang pergerakannya masih minus sejak awal tahun.
"Kalau di rata-rata sejak 2001, kenaikannya itu sekitar 4,6 persen pada Desember saja. Itu kan bagus dibandingkan dengan deposito yang 7 persen sampai 8 persen dalam satu tahun," ungkap Alfred kepada
CNNIndonesia.com, Senin (10/12).
Sejumlah saham yang masih berpotensi diserbu oleh perusahaan manajer investasi, kata Alfred, merupakan perusahaan berkapitalisasi besar yang bergerak di sektor konstruksi, perbankan, dan barang konsumsi.
"Saham-saham yang jadi portofolio perusahaan manajer investasi biasanya blue chip atau LQ-45," tutur Alfred.
Sebagai strategi, investor ritel juga bisa mengikuti langkah dari perusahaan manajer investasi dalam memilih saham. Semakin banyak yang diborong perusahaan manajer investasi, maka peluang penguatan juga semakin terbuka untuk saham tersebut.
Alfred merinci pelaku pasar bisa melirik saham PT Waskita Karya Tbk (WSKT), PT Pembangunan Perumahan Tbk (PTPP), dan PT Adhi Karya Tbk (ADHI) di sektor konstruksi.
Khusus emiten sektor barang konsumsi, pelaku pasar masih punya kesempatan untuk masuk di saham PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), PT Gudang Garam Tbk (GGRM), dan PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP).
"Perbankan juga begitu, lihat yang masih minus secara year to date, sehingga masih ada potensi pertumbuhan. PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) misalnya," sambung Alfred.
Bila diukur secara tahun kalender hingga Senin (10/12), pergerakan harga saham Waskita Karya minus sebesar 16,52 persen, PTPP merosot 26,7 persen, dan Adhi Karya turun 15,12 persen. Lalu, saham Unilever Indonesia dan HM Sampoerna sama-sama anjlok sampai 21,38 persen dan 20,72 persen. Sementara itu, Gudang Garam melemah tipis sebesar 1,19 persen. Adapun, BNI terkoreksi sebesar 13,38 persen sejak awal tahun.
 Ilustrasi (CNN Indonesia/Hesti Rika). |
Meski pengaruh
window dressing mampu mendongrak laju IHSG dalam hitungan bulanan, Analis Reliance Sekuritas Lanjar Nafi berpendapat, fundamental ekonomi dalam negeri dan global juga bisa menjadi sentimen pergerakan indeks. Bila ekonomi Indonesia dan global tahun depan semakin positif, maka minat pelaku pasar untuk melakukan aksi beli semakin kencang.
Ia meramalkan IHSG masih bisa mengukir sejarah yang sama pada Desember 2018 dibanding tahun-tahun sebelumnya, dengan menutup pergerakan di zona hijau. Menurutnya, IHSG akan menguat dalam kisaran dua persen.
"Dengan target akhir tahun di level 6.250," tutur Lanjar.
Diketahui, RTI Infokom mencatat IHSG sejak awal tahun sampai Senin (10/12) masih melemah sebesar 3,84 persen di level 6.111. Namun, dalam hitungan tahunan atau year on year (yoy), IHSG sudah menguat meski tipis sebesar 1,49 persen.
Menurut Lanjar, potensi penguatan sebesar dua persen pada Desember ini ditopang oleh komitmen Bank Indonesia (BI) dalam menjaga nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Maklum, rupiah beberapa waktu lalu sempat terkoreksi cukup dalam hingga tembus Rp15 ribu per dolar AS. Beruntung, kini rupiah sudah kembali di sekitar Rp14.400-Rp14.500 per dolar AS.
"Lalu The Fed bergerak dovish dengan menahan suku bunga acuan karena inflasi yang cenderung stabil akibat harga minyak yang terkoreksi ukup signifikan," ujar Lanjar.
Setali tiga uang, Alfred memprediksi pasar saham bulan ini menguat dua persen. Ia mengakui angkanya lebih rendah dari realisasi IHSG Desember 2017 yang mencapai enam persen.
"Ekspektasi ekonomi 2019 tidak begitu solid, beda dengan 2017 dulu di mana ekonomi 2018 diprediksi lebih positif," imbuh Alfred.
Selain itu, agenda politik berupa pemilihan presiden (Pilpres) pada April 2019 telah membuat ketidakpastian di pasar. Pasalnya, pemimpin baru bisa saja mengubah peta kebijakan dunia usaha yang akan mempengaruhi keinginan pasar dalam berinvestasi.
"Selain ketidakpastian yang besar, pertumbuhan ekonomi juga tidak begitu tinggi diprediksi hanya 5,2-5,3 persen sama pemerintah," terang Alfred.
Alfred menambahkan, sentimen perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China yang belum mencapai titik akhir juga menjadi salah satu perhatian pasar. Sejauh ini, kedua negara sepakat untuk menghentikan sementara pengenaan tarif dagang tambahan sembari keduanya juga melakukan negosiasi sampai 1 Maret tahun depan.
(agt/lav)