
Ekonom Sebut BI Berani Tahan Bunga karena Rupiah Stabil
CNN Indonesia | Jumat, 21/12/2018 06:36 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Ekonom menilai keberanian Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate didukung oleh stabilitas nilai tukar rupiah yang terjadi selama beberapa waktu terakhir.
Rapat Dewan Gubernur BI memutuskan untuk mempertahankan BI7DRRR di level 6 persen. Keputusan itu berlawanan dengan Bank Sentral Amerika Serikat The Federal Reserve (The Fed) yang mengerek suku bunganya sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 2,25-2,5 persen pada Kamis dini hari (20/12), waktu Indonesia.
"Walaupun kemarin ada defisit transaksi berjalan yang cukup besar, rupiah masih bisa bertahan di level yang sekarang jadi BI tak melihat ada kekhawatiran yang berlebihan terhadap efek defisit transaksi berjalan," ujar Kepala Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih kepada CNNIndonesia.com, Kamis (20/12).
Transaksi berjalan Indonesia dihantam oleh defisit neraca perdagangan yang kian melebar. Badan Pusat Statistik mencatat neraca perdagangan Indonesia pada November 2018 mengalami defisit sebesar US$2,05 miliar, melebar dari Oktober 2018 yang mencapai US$1,82 miliar.
Sementara, secara kumulatif Januari-November 2018, defisit perdagangan telah mencapai US$7,52 miliar. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, neraca dagang masih surplus US$12,02 miliar.
Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tercatat stabil di bawah level Rp14.500 per dolar AS, setelah pada Oktober lalu tertekan hingga menembus level Rp15 ribu per dolar AS.
Ditahannya BI7DRRR, lanjut Lana, sesuai dengan ekspektasi pasar. Terlebih, bulan lalu, secara tak terduga BI mengerek suku bunganya sebesar 25 bps di saat The Fed menahan suku bunganya. Sepanjang tahun, BI juga telah mengerek suku bunganya hingga 175 bps dari posisi Januari 4,25 persen.
"175 bps kan sudah cukup kuat tetapi belum kelihatan hasil yang nyata. Barangkali BI melihat ini sudah cukup sambil melihat efek dari (kenaikan) 175 bps tadi," ujarnya.
Senada dengan Lana, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam juga menilai keputusan BI menahan suku bunganya karena melihat pergerakan rupiah yang relatif stabil. Stabilitas itu terjadi meski defisit neraca dagang melebar yang menodai kondisi fundamental perekonomian Indonesia.
"Ada keyakinan BI, jika menahan suku bunga tidak akan menimbulkan gejolak yang besar. Kalaupun ada gejolak, mungkin BI sudah memprediksi tidak akan terjadi berkepanjangan," ujarnya.
Selain itu, kebijakan BI juga konsisten dengan arah kebijakan yang antisipatif dan mendahului (ahead the curve).
Sinyal kebijakan moneter AS tahun depan diperkirakan tidak akan seagresif perkiraan semula. Kenaikan suku bunga AS tadinya diperkirakan terjadi sebanyak tiga kali. Namun, dalam Rapat Komite Pasar Terbuka Federal bulan ini, kenaikan diperkirakan hanya akan terjadi dua kali.
Dengan menahan suku bunga, BI memiliki waktu dan ruang yang lebih luas tahun depan jika The Fed mengerek suku bunganya.
"Berbeda kalau seandainya BI menaikkan suku bunganya saat ini jadi 6,25 persen. Nanti kalau tahun depan harus menaikkan lagi mungkin terlalu besar kenaikkannya dan berdampak negatif terhadap pertumbuhan.," ujarnya. (sfr/agi)
Rapat Dewan Gubernur BI memutuskan untuk mempertahankan BI7DRRR di level 6 persen. Keputusan itu berlawanan dengan Bank Sentral Amerika Serikat The Federal Reserve (The Fed) yang mengerek suku bunganya sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 2,25-2,5 persen pada Kamis dini hari (20/12), waktu Indonesia.
"Walaupun kemarin ada defisit transaksi berjalan yang cukup besar, rupiah masih bisa bertahan di level yang sekarang jadi BI tak melihat ada kekhawatiran yang berlebihan terhadap efek defisit transaksi berjalan," ujar Kepala Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih kepada CNNIndonesia.com, Kamis (20/12).
Transaksi berjalan Indonesia dihantam oleh defisit neraca perdagangan yang kian melebar. Badan Pusat Statistik mencatat neraca perdagangan Indonesia pada November 2018 mengalami defisit sebesar US$2,05 miliar, melebar dari Oktober 2018 yang mencapai US$1,82 miliar.
Sementara, secara kumulatif Januari-November 2018, defisit perdagangan telah mencapai US$7,52 miliar. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, neraca dagang masih surplus US$12,02 miliar.
Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tercatat stabil di bawah level Rp14.500 per dolar AS, setelah pada Oktober lalu tertekan hingga menembus level Rp15 ribu per dolar AS.
Ditahannya BI7DRRR, lanjut Lana, sesuai dengan ekspektasi pasar. Terlebih, bulan lalu, secara tak terduga BI mengerek suku bunganya sebesar 25 bps di saat The Fed menahan suku bunganya. Sepanjang tahun, BI juga telah mengerek suku bunganya hingga 175 bps dari posisi Januari 4,25 persen.
"175 bps kan sudah cukup kuat tetapi belum kelihatan hasil yang nyata. Barangkali BI melihat ini sudah cukup sambil melihat efek dari (kenaikan) 175 bps tadi," ujarnya.
Senada dengan Lana, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam juga menilai keputusan BI menahan suku bunganya karena melihat pergerakan rupiah yang relatif stabil. Stabilitas itu terjadi meski defisit neraca dagang melebar yang menodai kondisi fundamental perekonomian Indonesia.
"Ada keyakinan BI, jika menahan suku bunga tidak akan menimbulkan gejolak yang besar. Kalaupun ada gejolak, mungkin BI sudah memprediksi tidak akan terjadi berkepanjangan," ujarnya.
Selain itu, kebijakan BI juga konsisten dengan arah kebijakan yang antisipatif dan mendahului (ahead the curve).
Sinyal kebijakan moneter AS tahun depan diperkirakan tidak akan seagresif perkiraan semula. Kenaikan suku bunga AS tadinya diperkirakan terjadi sebanyak tiga kali. Namun, dalam Rapat Komite Pasar Terbuka Federal bulan ini, kenaikan diperkirakan hanya akan terjadi dua kali.
Dengan menahan suku bunga, BI memiliki waktu dan ruang yang lebih luas tahun depan jika The Fed mengerek suku bunganya.
"Berbeda kalau seandainya BI menaikkan suku bunganya saat ini jadi 6,25 persen. Nanti kalau tahun depan harus menaikkan lagi mungkin terlalu besar kenaikkannya dan berdampak negatif terhadap pertumbuhan.," ujarnya. (sfr/agi)
ARTIKEL TERKAIT

BI Siapkan Uang Tunai Rp101 T untuk Natal dan Tahun Baru
Ekonomi 2 bulan yang lalu
Rupiah Loyo di Tengah Keputusan BI Tahan Suku Bunga
Ekonomi 2 bulan yang lalu
Bunga Fed Naik, BI Tetap Tahan Bunga Acuan di Level 6 Persen
Ekonomi 2 bulan yang lalu
BI Diproyeksi 'Tak Tertular' Kenaikan Bunga Acuan The Fed
Ekonomi 2 bulan yang lalu
The Fed Kerek Bunga, Mata Uang Asia Rontok dari Dolar AS
Ekonomi 2 bulan yang lalu
Rupiah 'Naik Daun' Tembus Rp14.439 per Dolar AS
Ekonomi 2 bulan yang lalu
BACA JUGA

KPK Cegah Eks Bos Century Robert Tantular Keluar Negeri
Nasional • 28 December 2018 02:12
Negara Rugi Rp8 T, KPK Janji Tuntaskan Kasus Bank Century
Nasional • 21 November 2018 23:03
Soal Janji Uang Braille, BI Punya 'Blind Code' Sejak 2004
Nasional • 18 November 2018 05:58
Jurkam Jokowi Respons Tudingan Sebar Duit Berstempel Prabowo
Nasional • 15 November 2018 11:23
TERPOPULER

Mimpi Layanan Semesta ala Jokowi dan 'Luka' BPJS Kesehatan
Ekonomi • 3 jam yang lalu
Nasabah Tuding Jiwasraya Tak Kooperatif Tangani Klaim
Ekonomi 7 jam yang lalu
VIDEO: Perang Dagang AS-China Diperkirakan Terhenti Segera
Ekonomi 8 jam yang lalu