Jakarta, CNN Indonesia --
Pelaku usaha menilai laju
ekonomi sepanjang tahun ini cenderung stagnan. Dari sisi pertumbuhan kinerja bisnis, tidak terjadi perubahan signifikan dibandingkan tahun lalu meski banyak kebijakan yang dirilis Presiden Joko Widodo guna mendorong iklim bisnis.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Tutum Rahanta secara gamblang menuturkan kondisi ekonomi di 2018 tidak sesuai dengan ekspektasi pelaku usaha. Kondisi ini, menurut dia, antara lain disebabkan ketergantungan eksternal yang besar pada perekonomian Indonesia membuat ekonomi domestik gampang terguncang sentimen global.
"Ada peningkatan, tapi tidak sesuai dengan harapan. Kami masih belum bisa menentukan permainan, karena masih ditentukan oleh permainan eksternal," kata Tutum kepada
CNNIndonesia.com.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia pun menilai banyak kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo, seperti pembangunan infrastruktur dan pembenahan sistem administrasi lewat
Online Single Submission (OSS) yang bersifat jangka panjang. Tak heran, hasilnya belum bisa dirasakan saat ini.
Meski demikian, menurut dia, kinerja pemerintah dalam memperbaiki masalah fundamental seperti infrastruktur dan administrasi patut diacungi jempol.
Senada Direktur eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana menyatakan kondisi ekonomi sepanjang 2018 cenderung stagnan. Kondisi ini terjadi hampir di semua sektor.
"Tidak ada yang menonjol dari sisi pertumbuhan ekonomi makro di hampir semua sektor," kata Danang.
Danang mengatakan ekonomi yang tidak bergerak disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya, tingkat produktifitas pekerja Indonesia yang masih kalah bersaing dengan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Oleh karena itu, Apindo menilai reformasi ketenagakerjaan (labor reform) mendesak dilakukan untuk mendukung kinerja sektor industri. Jika pemerintah menunda reformasi ketenagakerjaan, maka dikhawatirkan dapat menghambat investasi yang masuk ke Indonesia. Reformasi yang dimaksud adalah pengembangan keterampilan dan produktifitas pekerja sehingga dapat bersaing dengan pekerja dari negara tetangga.
Saat ini, Indonesia tercatat memiliki 131 juta orang angkatan kerja. Sedangkan tingkat serapan tenaga kerja baru mencapai sekitar 120 juta.
"Dengan reformasi regulasi ketenagakerjaan maka akan mengembangkan investasi dari luar maupun dalam. Ini poin penting kalau kita tidak memperbaiki regulasi ketengaakerjaan ini bisa menjadi penghambat yang serius," kata Danang.
 Produktivitas tenaga kerja dinilai menjadi salah satu permasalahan yang menahan laju ekonomi Indonesia. (ANTARA FOTO). |
Apindo juga mendesak pemerintah agar segera memperbaiki akuntabilitas data statistik. Perbedaan data antar Kementerian dan Lembaga (K/L) berdampak pada implementasi kebijakan yang tidak tepat, sebagaimana yang terjadi pada data beras beberapa waktu silam. "Hal ini menjadi sangat penting mengingat polemik akurasi data masih menjadi sorotan selama bertahun-tahun atas berbagai hal," ujarnya.
Selain itu, Apindo juga menilai ketidaksinkronan aturan perizinan pemerintah daerah dan pusat masih menjadi kendala pada ekonomi Indonesia, sebagaimana yang terjadi pada implementasi program OSS. Kondisi ini berpotensi menjadi bom waktu dan memicu konflik yang merugikan dunia usaha, serta menghambat investasi baru dari dalam maupun luar negeri.
"Hasil positif dari berbagai kerja sama ekonomi internasional juga tidak akan terwujud," jelasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani menilai kondisi ekonomi seharusnya bisa maju selangkah, jika pemerintah lebih cepat merespon berbagai tantangan global dan domestik serta melakukan implementasi kebijakan dengan tepat.
"Secara fundamental, arah ekonomi kita sudah tepat dengan membangun infrastruktur konektivitas, peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), dan mendorong investasi bernilai tambah tinggi," kata Shinta.
Kendati demikian, menurut dia, perlu ada perbaikan pada implementasi kebijakan, terutama terkait OSS dan revisi DNI. "Pemerintah tidak bisa sendirian bila ingin meningkatkan dan memperbaiki ekonomi. Pengusaha dan masyarakat harus dilibatkan, khususnya dalam proses pengambilan keputusan agar tidak ada keresahan di antara kami," terang dia.
Strategi 2019Untuk mengurangi ketergantungan kepada faktor eksternal, Tutum bilang tahun depan pemerintah harus memperkuat ekonomi dalam negeri. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memperkuat kinerja sektor Sumber Daya Alam (SDA) dengan membangun industri dari hulu ke hilir.
"Waktu harga komoditas turun, kita kalang kabut karena petani kita tidak bisa mengolah dengan baik. Kita bisa produksi minyak sawit (CPO) dan karet, tetapi ketika harganya turun kalang kabut karena ketergantungan dengan industri luar," jelasnya.
Sementara bagi Shinta, kunci perbaikan ekonomi di tahun mendatang adalah mitigasi resiko. Tahun ini, defisit transaksi berjalan
(Current Account Deficit/CAD) babak belur lantaran pemerintah memilih untuk menunggu potensi resiko penguatan ekonomi AS dan perang dagang. Akibatnya, Indonesia tidak punya cukup waktu untuk mengurangi dampak negatifnya.
"Ke depannya pemerintah harus bisa secara aktif melihat potensi resiko dan mulai memitigasinya sebelum potensi itu menjadi kenyataan," kata Shinta.
Shinta memaparkan beberapa potensi risiko di tahun depan, antara lain konflik hengkangnya Inggris dari Uni Eropa
(Britain Exit/Brexit) kenaikan suku bunga AS, pelemahan ekonomi China, penurunan harga minyak dan perang dagang. Sementara dari resiko domestik adalah Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres).
(ulf/agi)