Jakarta, CNN Indonesia --
Harga minyak dunia melonjak sekitar 8 persen pada perdagangan Rabu (26/12), waktu Amerika Serikat (AS). Secara harian, kenaikan
harga tersebut merupakan yang terbesar selama lebih dari dua tahun terakhir.
Dilansir dari
Reuters, Kamis (27/12), harga
minyak mentah berjangka acuan global Brent naik US$4 atau delapan persen menjadi US$54,47 per barel. Di awal sesi perdagangan, Brent sempat tertekan hingga ke level US$49,93 per barel atau terendah sejak Juli 2017.
Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$3,69 atau 8,7 persen menjadi US$46,22 per barel. Kendati demikian, harga WTI telah merosot hampir 40 persen sejak menyentuh level tertingginya di atas US$76 per barel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kenaikan harian kedua harga merupakan yang terbesar sejak 30 November 2016, usai Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) menandatangani kesepakatan untuk memangkas produksi.
Harga minyak terkena imbas dari pelemahan pasar yang lebih luar seiring berhentinya operasional pemerintah AS, suku bunga acuan AS yang lebih tinggi, dan sengketa dagang AS-China. Hal tersebut memicu kekhawatiran investor terhadap pertumbuhan ekonomi global.
"Pasar masih sangat memperhatikan permintaan," ujar Wakil Pimpinan DrillingInfo Bernadette Johnson di Denver.
Menurut Johnson, aksi jual tidak mencerminkan kepercayaan diri pasar yang kuat terhadap permintaan. Penurunan harga terjadi terlalu dalam dan terlalu cepat.
"Kami masih meyakini US$45 itu terlalu rendah," terang Johnson.
Para analis Tudor, Pickering & Holt menilai aksi jual yang terjadi belakangan ini tidak digerakkan oleh kondisi fundamental pasar minyak. Namun, kondisi tersebut merupakan imbas dari kekhawatiran terhadap pasar secara umum seiring meningkatnya volatilitas ekuitas dan kekhawatiran terhadap pertumbuhan makroekonomi.
Igor Sechin, Pemimpin perusahaan minyak Rusia Rosneft, memperkirakan harga minyak bakal bergerak di kisaran US$50 hingga US$53 pada 2019. Prediksi itu jauh di bawah level tertinggi Brent selama empat tahun terakhir, yaitu US$86 per barel, yang dicapai pada Oktober lalu.
Kendati demikian, proyeksi minyak tidak seburuk pada 2016 saat pasokan membanjir. Pasalnya, OPEC telah mencoba untuk mendongkrak pasar.
Pada awal bulan ini, OPEC dan sekutunya, termasuk Rusia, sepakat untuk memangkas produksinya sebesar 1,2 juta barel per hari (bph) mulai Januari 2019. Kebijakan ini berubah dari kebijakan Juni lalu dimana kartel minyak dunia ini memutuskan untuk memproduksi minyak lebih banyak.
(sfr/bir)