Jakarta, CNN Indonesia --
Harga minyak mentah dunia menanjak lebih dari 4 persen pada perdagangan Rabu (9/1), waktu
Amerika Serikat (AS). Penguatan masih dipicu oleh ekspektasi meredanya tensi perdagangan antara AS dan China seiring dilakukannya pembahasan lanjutan antara kedua negara.
Dilansir dari
Reuters, Kamis (10/1), harga minyak mentah berjangka Brent tercatat menguat US$2,48 atau 4,2 persen menjadi US$61,2 per barel.
Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$2,48 atau 4,8 persen menjadi US$52,16 per barel. Ini merupakan kali pertama harga WTI menembus level US$50 per barel pada 2019.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penguatan harga pada perdagangan kemarin melanjutkan reli yang telah mendorong harga minyak ke level lebih dari 13 persen sejak awal tahun ini.
"Setelah Desember yang mengerikan untuk pasar aset yang berisiko, minyak mentah terus menangkap sinyal positif," ujar Analis broker Oanda Stephen Innes di Singapura kepada
Reuters.
Innes menilai kekhawatiran investor terhadap tensi perdagangan mereda. Hal itu akan menahan laju pertumbuhan ekonomi dan mengurangi permintaan minyak mentah.
Pembicaraan perdagangan antara AS dan China berlanjut ke hari ketiga yang sebelumnya tidak dijadwalkan. Pembahasan itu dilakukan di tengah sinyal kemajuan yang mencakup pembelian produk peternakan dan komoditi energi AS oleh China.
Pemberitaan koran setempat
China Daily yang dikutip
Reuters melaporkan China sangat ingin mengakhiri sengketa dagang. Namun, setiap kesepakatan harus melibatkan kompromi antara dua negara yang memiliki perekonomian terbesar di dunia ini.
Harga minyak dunia juga mendapatkan dukungan dari pelaksanaan kebijakan pemangkasan pasokan oleh Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, termasuk Rusia.
Pemangkasan yang mulai berlaku Januari lalu ini bertujuan untuk mengimbangi kenaikan produksi minyak mentah AS yang telah mencapai 11,7 juta barel per hari (bph).
Menteri Energi Arab Saudi Khalid al-Falih menyatakan ia percaya aksi untuk menahan produksi akan membuat pasar minyak kembali seimbang. Al-Falih juga menyatakan ia tidak menutup kemungkinan untuk mengambil langkah lanjutan.
Data Badan Administrasi Informasi Energi AS (EIA) menunjukkan stok minyak mentah AS merosot lebih kecil dari ekspektasi pada pekan lalu. Sementara, stok bensin dan minyak distilasi naik lebih besar dari perkiraan.
Persediaan minyak mentah AS merosot sebesar 1,7 juta barel, lebih kecil dari ekspekatasi analis hasl jajak pendapat Reuters yang memperkirakan 2,8 juta barel.
Sebaliknya, stok bensin tercatat naik 8,1 juta barel atau jauh di atas ekspektasi analis yang hanya sebesar 3,4 juta barel.
Kemudian, persediaan minyak distilasi juga menanjak 10,6 juta barel, lebih dari lima kali lipat perkiraan analis 1,9 juta barel.
"Laporan itu bersifat menekan harga (bearish) mengingat penurunan persediaan minyak mentah yang lebih kecil dari ekspektasi dan kenaikan yang sangat besar pada persediaan produk kilang," ujar Partner Again Capital Management John Kilduff di New York.
Sementara itu, bank investasi dan perusahaan layanan keuangan AS Morgan Stanley memangkas proyeksi rata-rata harga minyak untuk 2019 lebih dari 10 persen. Dalam catatannya, Morgan Stanley saat ini memperkirakan rata-rata harga Brent sebesar US$61 per barel untuk tahun ini. Kemudian, rata-rata harga WTI diperkirakan sekitar US$54 per barel.
(sfr/lav)