Jakarta, CNN Indonesia -- Calon Presiden
Prabowo Subianto menjanjikan kenaikan rasio
pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau
tax ratio ke angka 16 persen dari saat ini yang masih berada di kisaran 11,5 persen. Di sisi lain, Prabowo juga ingin menurunkan pajak penghasilan orang dan badan hingga 5-8 persen dan membebaskan pajak pada sejumlah sektor guna meningkatkan basis pajak.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menjelaskan untuk mencapai level pembangunan yang optimal, memang dibutuhkan level rasio pajak di kisaran 16 persen. Tak heran, Prabowo 'bermimpi' mengejar rasio pajak se-agresif itu.
Mimpi itu tak mustahil. Dengan catatan, untuk mencapai target rasio pajak 16 persen, penerimaan pajak harus meningkat sekitar Rp663 triliun jika menggunakan perhitungan asumsi PDB 2018 sebesar Rp14.745 triliun. Persoalannya, hal ini yang sulit dilakukan dalam jangka pendek.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mungkinkah dalam jangka pendek menarik pajak yang nilainya dua kali lipat kenaikan 2015 hingga 2018, tanpa menimbulkan kegaduhan dan menggencet pelaku usaha?" ujar Yustinus, Jumat (18/1).
Apalagi, menurut dia, Prabowo menjanjikan penurunan tarif PPh dan pembebasan pajak usaha bagi UMKM bisnis digital dalam dua tahun. Biasanya, penurunan tarif akan memangkas penerimaan pajak dalam jangka pendek. Sementara, dibutuhkan waktu untuk dapat meningkatkan basis pajak secara signifikan.
"Artinya, hasrat menggenjot
tax ratio dalam jangka pendek jelas (seharusnya) hanya bisa bertumpu pada kenaikan tarif pajak saja," paparnya.
Bikin Pengusaha Ketar-ketirPernyataan Prabowo yang menyebut kenaikan rasio pajak akan menjadi solusi peningkatan penerimaan negara sehingga dapat digunakan untuk menaikkan gaji PNS sehingga korupsi dapat dicegah juga akan menimbulkan persepsi negatif bagi wajib pajak. Hal ini dapat mengundang pertanyaan dari masyarakat bahwa uang pajaknya hanya akan lari demi menggaji aparat pemerintah.
"Jangan sampai para PNS keburu girang bukan kepalang, di saat bersamaan para pelaku usaha dan wajib pajak ketar-ketir karena siap-siap jadi sasaran perburuan target pajak. Jangan-jangan bukan lagi 'berburu di kebun binatang', tapi 'mengail di akuarium'. Malas berburu di hutan," pungkas dia.
Senada, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai target kenaikan tax ratio yang tinggi dapat mengganggu iklim investasi. Sebab, pengusaha tentu khawatir bakal dikejar pajak yang terlalu tinggi.
Apalagi, basis pajak usai kebijakan pengampunan pajak
(tax amnesty) dianggap stagnan. "Sehingga untuk kejar tax ratio hingga 16 persen harus ada grand design-nya," jelas Bhima.
Bhima juga sepakat rencana Prabowo untuk menurunkan tarif PPh badan dan pribadi, serta membebaskan pajak tak akan meningkatkan penerimaan dalam jangka pendek. Insentif pajak pun tak serta merta bisa mendongkrak basis pajak yang diharapkan dapat meningkatkan penerimaan.
Ia pun menyarankan pemerintah yang nanti terpilih untuk mengejar basis pajak dari data wajib pajak di luar negeri yang pada 2017 lalu tak terjaring amnesti pajak melalui pertukaran data informasi secara otomatis (AEoI).
"Serupa dengan pemberian insentif fiskal, tanpa perluasan basis pajak, maka menurunkan tarif PPh badan dan
tax ratio bagai bumi dan langit. Masing-masing tak akan bertemu," imbuhnya.
Dengan kondisi perekonomian saat ini, ia memprediksi rasio pajak dalam lima tahun ke depan hanya akan mencapai kisaran 13 persen. Hal itu pun dapat terwujud dengan catatan, penerimaan pajak harus lebih besar dibanding penerimaan PDB.
Kenaikan rasio pajak hingga 16 persen, lanjut dia, mungkin akan lebih masuk akal jika dicapai dalam jangka waktu 10 tahun ke depan. Selama jangka waktu tersebut, pemerintah juga bisa melakukan reformasi administrasi dan kelembagaan Direktorat Jenderal Pajak dan evaluasi insentif fiskal yang selama ini menggerus penerimaan pajak.
"Kondisi ekonomi saat ini sedang lesu, pajak yg tinggi malah jadi penghambat pertumbuhan di sektor riil. Wacana ini masih perlu kajian lebih jauh untuk mencari titik temu antara penerimaan pajak dan iklim dunia usaha yang masuk akal," jelas dia.
(glh/agi)