REKOMENDASI SAHAM

Saatnya Berburu Saham Emiten 'Raksasa' Ketika IHSG Jeblok

CNN Indonesia
Senin, 18 Feb 2019 10:04 WIB
Pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang pekan lalu menjadi sinyal terjadinya penurunan sejumlah harga saham emiten berkapitalisasi besar.
Ilustrasi. (CNN Indonesia/Hesti Rika).
Jakarta, CNN Indonesia -- Pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang pekan lalu menjadi sinyal terjadinya penurunan sejumlah harga saham emiten berkapitalisasi besar (big capitalization/big cap). Maklum, saham big cap memiliki bobot atau andil besar dalam pergerakan pasar saham.

Dengan kata lain, harga saham big cap sedang dalam level yang 'murah'. Sebagai informasi, IHSG sepanjang pekan lalu anjlok 2,03 persen hingga ke level 6.389. Bila dibandingkan dengan pekan sebelumnya, IHSG masih berada di posisi 6.521.

Analis Phintraco Sekuritas Valdy Kurniawan mengatakan pelaku pasar bisa memanfaatkan momentum tersebut dengan memborong saham big cap yang sudah turun signifikan pada pekan lalu. Pelaku pasar pun tak lagi harus merogoh kocek dalam-dalam untuk membeli saham big cap ketika harga sedang murah meriah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Beberapa saham yang bisa disasar, misalnya PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI), dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI).


"Ini yang relatif lemah sepanjang pekan lalu, jadi bisa dicermati. Melemah tapi fundamental mereka tidak buruk," ungkap Valdy kepada CNNIndonesia.com, Senin (18/2).

RTI Infokom mencatat saham BNI dan Bank Mandiri bergerak stagnan pada Jumat (15/2), sehingga masing-masing berakhir di level Rp8.775 per saham dan Rp7.175 per saham. Sementara, BRI terkoreksi 0,79 persen ke level Rp3.770 per saham.

Penurunan kinerja saham lebih parah terjadi pada Indofood Sukses Makmur dan Unilever Indonesia. Saham Indofood Sukses Makmur berakhir di level Rp7.425 per saham dengan penurunan 1,66 persen, sedangkan Unilever Indonesia melemah 1,79 persen ke level Rp48 ribu per saham.

"Selain itu kalau dilihat dari price earning to ratio (PER) dan price book to value (PBV) juga lebih murah dibandingkan dengan sektornya masing-masing," kata Valdy.


PER dan PBV merupakan dua indikator yang biasa digunakan investor dan analis untuk mengukur mahal dan murah atau wajar atau tidaknya suatu saham. Mudahnya, bila angka PER dan PBV salah satu saham berada di atas sektornya, maka bisa dikatakan mahal. Sebaliknya, saham akan disebut murah kalau PER dan PBV nya berada di bawah sektornya.

Valdy merinci, PER saham BNI sebesar 10,9 kali dan PBV 1,55 kali, PER saham Bank Mandiri sebesar 13,39 kali dan PBV 1,85 kali, serta PER untuk BRI 14,37 kali dan PBV 2,54 kali.

"Unilever PER nya 40,2 kali dan PBV 48,33 kali, kalau Indofood Sukses Makmur PER nya di angka 17,34 kali dan PBV 2,01 kali. Semua di bawah sektoralnya ini," ujar Valdy.

Tak hanya karena sahamnya yang murah, tapi mayoritas emiten yang sahamnya direkomendasikan ini memiliki kinerja keuangan yang ciamik sepanjang 2018 lalu. Kondisi ini akan menambah keyakinan pasar untum masuk ke saham-sama tersebut.


Bank Mandiri misalnya, perusahaan meraup laba bersih sebesar Rp25 triliun pada 2018. Angka itu naik naik 21,2 persen dibandingkan 2017 sebesar Rp20,6 triliun.

Lalu, laba bersih BRI tahun lalu tumbuh 11,6 persen menjadi Rp32,4 triliun dari Rp29 triliun. Sementara, peningkatan laba bersih BNI lebih tipis hanya 10,3 persen dari Rp13,62 triliun menjadi Rp15,02 triliun.

Untuk saham di sektor barang konsumsi, Unilever Indonesia berhasil membukukan laba bersih sebesar Rp9,1 triliun atau naik 30,1 triliun. Sayang, Indofood Sukses Makmur belum merilis laporan keuangan periode tahunan 2018. Hanya saja, pada kuartal III 2018 lalu laba bersih perusahaan merosot 13,8 persen menjadi Rp2,81 triliun.

Valdy berpendapat khusus saham barang konsumsi akan mendapatkan sentimen positif tambahan dari keputusan pemerintah yang menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium di Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) sebesar Rp100 per liter. Walhasil, kini harga bbm premium di Jawa, Madura, dan Bali menjadi Rp6.450 per liter dari sebelumnya Rp6.550 per liter.


"Biasanya kan penurunan harga BBM akan pengaruh ke konsumsi masyarakat, jadi ini juga akan berpengaruh ke perusahaan barang konsumsi ke depannya. Ada potensi perbaikan kinerja," jelas Valdy.

Melalui berbagai sentimen tadi, Valdy memasang target harga saham Unilever Indonesia bisa menyentuh level Rp49 ribu per saham dalam satu pekan ini. Kemudian, Indofood Sukses Makmur diprediksi mengarah ke level Rp7.500-Rp7.600 per saham.

"Lalu kalau BRI mungkin rebound (bangkit) ke level Rp3.850-Rp3.900 per saham, BNI ke level Rp8.850-Rp8.900 per saham, dan Bank Mandiri bisa kembali ke level Rp7.350 per saham," papar Valdy.

Selain lima saham itu, pelaku pasar juga masih bisa menikmati cuan dari PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) pekan ini. Kepala Riset Narada Kapital Indonesia Kiswoyo Adi Joe menuturkan saham Telekomunikasi Indonesia berpotensi melanjutkan kenaikannya sejak akhir pekan lalu.


"Kalau dilihat sepanjang tahun ini Telekomunikasi Indonesia harganya bisa ke Rp5 ribu per saham," kata Kiswoyo.

Mengutip RTI Infokom, saham Telekomunikasi Indonesia tidak ikut tertekan seperti IHSG pada Jumat kemarin. Saham perusahaan itu merangkak 1,34 persen ke level Rp3.790 per saham.

Selain itu, pelaku pasar juga bisa mulai mengakumulasi saham PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS). Untuk HM Sampoerna, harga sahamnya melorot 1,86 persen ke level Rp3.700 per saham dan Perusahaan Gas Negara stagnan di level Rp2.460 per saham.

"Secara keseluruhan bisa memanfaatkan saham yang murah, karena IHSG masih berpotensi tembus 6.500," pungkas Kiswoyo.

[Gambas:Video CNN] (aud/lav)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER