Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden
Joko Widodo dalam debat capres tadi malam, Minggu (18/2) mengklaim pemerintah berhasil menekan
impor bahan pangan, salah satunya pada komoditas
jagung. Ia menyebut impor jagung tahun lalu berhasil ditekan dari tahun sebelumnya sebesar 3,5 juta ton menjadi 183 ribu ton.
"Artinya 3,3 juta ton berkurang (impor)," ujar Jokowi dalam debat capres kedua dengan tema energi, pangan, infrastruktur, sumber daya alam, dan lingkungan hidup.
Pernyataan Jokowi tersebut menanggapi pertanyaan Capres Prabowo Subianto yang menyebut Indonesia kian getol impor pangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Data yang digunakan Jokowi ternyata berbeda dengan data impor yang dirilis BPS. BPS mencatat impor jagung tahun lalu mencapai 732,22 ribu ton. Jokowi kemudian berkilah data yang digunakannya berasal dari Kementerian Pertanian (Kementan).
"Memang 2018 saya tanya konfirmasi lagi ke mentan 180 ribu ton. Mendag juga 180 ribu ton dan justru ada ekspor 380 ribu ton," kata Jokowi, Senin (18/2)
Terlepas dari perbedaan data kedua lembaga negara tersebut, data keduanya memang menunjukkan ada penurunan impor jagung pada tahun lalu dibanding tahun sebelumnya. Data penurunan impor tersebut sebenarnya tak lepas dari kebijakan pemerintahan Jokowi yang membatasi keran impor sejak 2016.
Lewat kebijakan tersebut, total impor jagung pada masa pemerintahan Jokowi praktis menurun. Hal ini terlihat dari data BPS yang menunjukkan penurunan impor.
BPS mencatat impor jagung pada 2014 sebanyak 3,25 juta ton, kemudian menjadi 3,26 juta ton pada 2015. Impor jagung kemudian menurun signifikan pada 2016 menjadi 1,52 juta ton, lalu menjadi 517,49 ribu ton pada 2017. Sementara pada tahun lalu, impor jagung naik menjadi 737,22 ribu ton.
Selain saat debat, Jokowi sebelumnya pernah membanggakan capaian penurunan impor jagung lewat cuitan di Twitter. Ia menyebut keberhasilan penurunan impor jagung berkat peran penyuluh pertanian yang membantu petani meningkatkan hasil atau produksinya.
Berbuntut Kelangkaan JagungKeberhasilan Jokowi mengurangi impor jagung justru mendatangkan persoalan baru. Ketika pemerintah memutuskan untuk memangkas impor jagung, peternak terutama peternak ayam ras petelur
(layer) dalam skala kecil mengeluhkan mahalnya harga jagung pakan. Usut punya usut, terjadi kelangkaan jagung pakan utamanya di wilayah sentra produksi pakan.
Kurangnya pasokan jagung pakan ini, membuat peternak layer yang memproduksi pakan secara mandiri harus berebut jagung dengan pabrik pakan. Alhasil, harga jagung maupun pakan melambung tinggi. Peternak kecil pun makin tersisihkan.
Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Parjuni mengaku usaha ternak yang dilakoninya tercekik kenaikan harga pakan. Harga jagung melambung sebesar Rp5.200 per kilogram (kg), jauh melebihi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58 tahun 2018 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen.
Dalam aturan itu, pemerintah menetapkan harga jagung kadar air 15 persen dibeli dari petani seharga Rp3.150 per kilogram (kg) dan dijual kepada konsumen seharga Rp4.000 per kg. Kemudian jagung kadar air 20 persen dibeli seharga Rp3.050 per kg, jagung kadar air 25 persen dibeli seharga Rp2.850 per kg, jagung kadar air 30 persen dibeli seharga Rp2.750 per kg, dan jagung kadar air 35 persen dibeli seharga Rp2.500 per kg.
Jika dibandingkan dengan harga acuan, maka kenaikan jagung pakan di konsumen sudah mencapai Rp1.200 per kg. Padahal, komposisi jagung pada pakan ternak mencapai 50 persen. Kondisi ini tentunya sangat merugikan peternak kecil.
Di sisi lain, Kementerian Pertanian bersikeras ada surplus produksi jagung sebesar 14,85 ton sepanjang tahun 2018. Sebab, produksi jagung mencapai 30,43 juta ton, sedangkan prediksi angka konsumsi jagung hanya 15,58 juta ton.
Menanggapi hal itu, Parjuni mempertanyakan klaim surplus jagung oleh Kementan.
"Kalau kita bicara surplus, otomatis harganya turun. Ini lucu, surplus, tapi harganya tinggi. Jadi, data di lapangan dengan di pemerintah kok beda," tutur Parjuni beberapa waktu lalu.
Menimbang banyaknya keluhan peternak, pemerintah akhirnya membuka keran impor jagung pakan pada November 2018. Putusan impor ini ditetapkan lewat rapat koordinasi menteri bidang perekonomian di bawah komando Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution. Pemerintah menyebut kebijakan tersebut ditempuh untuk menekan harga jagung yang melesat di pasar.
Namun demikian, impor jagung 100 ribu ton pada November 2018 belum ampuh menurunkan harga. Peternak masih mengeluhkan kurangnya pasokan jagung. Di sisi lain, harganya masih melambung tinggi.
 Foto: CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi |
Pemerintah kemudian kembali menambah impor jagung sebanyak 30 ribu ton pada awal tahun 2019. Tak berhenti di situ, izin impor jagung pakan sebanyak 150 ribu ton diberikan kepada Perum Bulog pada akhir Januari 2019. Jauh panggang dari api, gema swasembada jagung yang gencar dicetuskan pada awal pemerintahan Jokowi kian memudar.
Akan tetapi, kedatangan jagung impor tersebut tak lantas menjawab permasalahan jagung pakan. Kini, giliran petani yang dilanda kekhawatiran lantaran jagung impor datang mendekati masa panen raya jagung.
Asosiasi Petani Jagung Indonesia (APJI) mengaku khawatir impor jagung 30 ribu ton bakal masuk terlambat, sehingga berpotensi mengganggu harga dan merugikan petani. Ketua Asosiasi APJI Sholahuddin menyebut impor jagung 30 ribu ton diperkirakan baru masuk ke Indonesia pada Februari 2019. Padahal pada bulan yang sama diperkirakan terjadi panen raya.
"Ini akan jadi blunder karena tidak berhasil masuk pada Januari, sebelum panen raya. Kalau masuk Februari bisa membuat pasokan terlalu tinggi," ujar Sholahuddin.
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa menegaskan biang keladi dinamika
impor jagung adalah kesalahan asumsi produksi jagung. Pemerintah membuat kebijakan pembatasan impor jagung berlandaskan data yang salah. Alhasil, keputusan yang dihasilkan tidak sesuai dengan realita di lapangan. Menurutunya, kondisi ini serupa dengan karut marut data produksi beras.
"Sebenarnya hulu permasalahan ada pada data jagung. Contoh 2018 dinyatakan produksi 30,43 juta ton, ada surplus 14,85 juta ton, sehingga begitu yakin jagung sangat mencukupi. Tahun sebelumnya juga begitu, bahkan mulai dari 2016. Tetapi kan kenyataannya tidak," kata Andreas kepada
CNNIndonesia.com. Pernyataan Andreas bukan tanpa alasan. Sesuai logika dasar ekonomi penawaran dan permintaan, jika penawaran atau ketersediaan terbatas sedangkan permintaan tinggi, maka akan terjadi gejolak harga. Pun demikian dengan nasib jagung pakan.
Jika pernyataan surplus bukan isapan jempol belaka, seharusnya harga jagung pakan stabil. Namun sebaliknya, harga jagung justru meroket.
Puncak lonjakan harga jagung pakan terjadi pada 2018 hingga tembus di atas Rp6 ribu per kg di tangan konsumen. Ini tentu melampaui harga acuan pemerintah sebesar Rp3.150 per kg dibeli dari petani dan Rp 4.000 per kg dijual kepada konsumen.
Andreas menilai kebijakan impor jagung sebesar 100 ribu ton pada November 2018 belum cukup menjawab kebutuhan jagung pakan. Tepat sesuai ramalannya, pemerintah kembali mendatangkan impor sebesar 30 ribu ton dan 150 ribu ton.
"Karena memang belum mencukupi kebutuhan peternak kecil, sehingga impor belum efektif turunkan harga. Barang yang diimpor dengan kebutuhan jauh berbeda. Sejak November saya sampaikan 100 ribu ton tidak ada efek apapun terhadap harga dan memang betul," paparnya.
Ia memprediksi harga jagung pakan baru akan melandai ketika memasuki panen raya.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah mengamini pernyataan Andreas bahwa produksi bahan pangan dalam negeri mengalami kendala pada masalah data. Ia menilai sebaiknya pemeirntah melakukan sinkronisasi data jagung sebagaimana yang dilakukan pada data beras.
"Pak Jokowi dulu bilang tidak impor karena asumsinya kita bisa swasembada jagung. Masalahnya ketika impor distop harga pakan naik dan peternak berteriak jagung tidak ada," pungkas Rusli.