Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa menegaskan biang keladi dinamika
impor jagung adalah kesalahan asumsi produksi jagung. Pemerintah membuat kebijakan pembatasan impor jagung berlandaskan data yang salah. Alhasil, keputusan yang dihasilkan tidak sesuai dengan realita di lapangan. Menurutunya, kondisi ini serupa dengan karut marut data produksi beras.
"Sebenarnya hulu permasalahan ada pada data jagung. Contoh 2018 dinyatakan produksi 30,43 juta ton, ada surplus 14,85 juta ton, sehingga begitu yakin jagung sangat mencukupi. Tahun sebelumnya juga begitu, bahkan mulai dari 2016. Tetapi kan kenyataannya tidak," kata Andreas kepada
CNNIndonesia.com.Pernyataan Andreas bukan tanpa alasan. Sesuai logika dasar ekonomi penawaran dan permintaan, jika penawaran atau ketersediaan terbatas sedangkan permintaan tinggi, maka akan terjadi gejolak harga. Pun demikian dengan nasib jagung pakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika pernyataan surplus bukan isapan jempol belaka, seharusnya harga jagung pakan stabil. Namun sebaliknya, harga jagung justru meroket.
Puncak lonjakan harga jagung pakan terjadi pada 2018 hingga tembus di atas Rp6 ribu per kg di tangan konsumen. Ini tentu melampaui harga acuan pemerintah sebesar Rp3.150 per kg dibeli dari petani dan Rp 4.000 per kg dijual kepada konsumen.
Andreas menilai kebijakan impor jagung sebesar 100 ribu ton pada November 2018 belum cukup menjawab kebutuhan jagung pakan. Tepat sesuai ramalannya, pemerintah kembali mendatangkan impor sebesar 30 ribu ton dan 150 ribu ton.
"Karena memang belum mencukupi kebutuhan peternak kecil, sehingga impor belum efektif turunkan harga. Barang yang diimpor dengan kebutuhan jauh berbeda. Sejak November saya sampaikan 100 ribu ton tidak ada efek apapun terhadap harga dan memang betul," paparnya.
Ia memprediksi harga jagung pakan baru akan melandai ketika memasuki panen raya.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah mengamini pernyataan Andreas bahwa produksi bahan pangan dalam negeri mengalami kendala pada masalah data. Ia menilai sebaiknya pemeirntah melakukan sinkronisasi data jagung sebagaimana yang dilakukan pada data beras.
"Pak Jokowi dulu bilang tidak impor karena asumsinya kita bisa swasembada jagung. Masalahnya ketika impor distop harga pakan naik dan peternak berteriak jagung tidak ada," pungkas Rusli.
(ulf/agi)