Jakarta, CNN Indonesia --
Ma'ruf Amin dan
Sandiaga Uno akan berlaga dalam debat cawapres pemilihan presiden 2019. Salah satu topik yang diangkat kedua pasangan Calon Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto menyangkut
tenaga kerja.
Bagaimana faktanya?
Pada kampanye pilpres 2014 lalu, capres petahana Jokowi berjanji untuk menciptakan 10 juta lapangan kerja. Dewi fortuna mendengar, janji itu berhasil dipenuhinya. Bahkan, bisa tercapai lebih cepat dari waktu yang diperkirakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat jumlah penciptaan lapangan kerja mencapai 10,34 juta orang dalam kurun waktu 2015-2018. Pun begitu, Kementerian Ketenagakerjaan tetap menargetkan menciptakan tambahan 2 juta lapangan kerja baru pada tahun terakhir pemerintahan Kabinet Kerja.
Namun, Jokowi tak berpuas diri. Ia menilai permasalahan ketenagakerjaan di Tanah Air berasal dari ketidakcocokan (miss and match) keterampilan yang dimiliki calon pekerja dengan kebutuhan industri. Makanya, pemerintah fokus untuk menambah keterampilan kerja.
Gagasan ini kemudian kembali dibawa Jokowi dalam pilpres 2019. Hal ini dituangkannya dalam penyampaian visi misi bersama Ma'ruf Amin. "Reformasi ketenagakerjaan melalui vokasional, Balai Latihan Kerja, sistem perburuhan dan pengupahan, serta perlindungan bagi tenaga kerja di sektor informal," tulis Jokowi-Ma'ruf dalam visi-misinya.
Di luar janji melanjutkan program lama, Jokowi-Ma'ruf juga melempar janji Kartu Prakerja. Kartu tersebut akan dikeluarkan bila ia kembali memenangkan kontestasi politik. Diklaim, Kartu Prakerja tidak sekadar memberi gaji bagi pengangguran.
Namun, kartu itu bertujuan menjadi akses penambahan keterampilan bagi pengangguran yang belum pernah bekerja dan sudah pernah bekerja, termasuk mereka yang menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Sementara di kubu penantang, Prabowo menawarkan program penghapusan sistem kerja paruh waktu alias outsourcing. Seperti halnya Jokowi, janji ini sudah dibawa Prabowo sejak bertanding pada pilpres 2014 lalu.
"Memperbaiki iklim ketenagakerjaan dengan menghentikan kebijakan outsourcing, mengutamakan tenaga kerja lokal dibandingkan tenaga kerja asing dalam pembukaan lapangan kerja baru," tulis Prabowo dalam penyampaian visi misi yang digagasnya bersama calon wakil presiden Sandiaga Uno.
Sebetulnya, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai sah-sah saja bila kedua pasangan calon membawa program yang sama seperti yang pernah ditawarkan pada pilpres 2014 lalu.
Dengan catatan, program tersebut memang tepat menyelesaikan berbagai tantangan di sektor ketenagakerjaan. Meskipun, tak ada salahnya kedua kubu mempunyai program ketenagakerjaan baru karena perkembangan teknologi menjadi salah satu tantangan yang mengubah sisi penawaran (supply) dan permintaan (demand) dalam sektor ini.
[Gambas:Video CNN]
Pekerja InformalSayang, klaim sukses penciptaan 10 juta lapangan kerja, Faisal menilai masih ada gap antara kebutuhan industri dan ketersediaan tenaga kerja. "Selain itu, penciptaan lapangan kerja mayoritas berupa pekerjaan informal, bukan formal," ujarnya.
Buktinya, jumlah pengangguran dari tingkat Sekolah Dasar (SD)dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang turun lebih cepat ketimbang pengangguran dari kalangan Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), termasuk sarjana.
"Terlihat pula dari porsi jumlah tenaga kerja di bidang informal yang mencapai kisaran 60 persen. Artinya, mungkin lapangan kerja yang dimasuki masyarakat adalah informal, misalnya supir ojek online," imbuh Faisal.
Memang, penciptaan lapangan kerja informal tidak salah. Maklum saja, perkembangan teknologi digital memang mendukung lahirnya perusahaan rintisan (startup), seperti Gojek Indonesia dan Grab Indonesia.
Namun, menurut Faisal, pekerjaan informal tidak selalu ideal. Sebab, para pekerja tidak mendapat perlindungan asuransi kerja dan kesehatan selayaknya pekerja formal. Selain itu, tidak ada jaminan dana pensiun di hari tua.
Karenanya, perlu program penciptaan lapangan kerja yang tetap berorientasi formal. Kecuali, pemerintah ingin memastikan perlindungan sosial bagi para pekerja informal bisa meningkat, misalnya melalui pelayanan BPJS Kesehatan dan lainnya.
Senada, Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto melihat keberhasilan penciptaan lapangan kerja ala Jokowi masih belum menjawab tantangan yang ada di sektor ketenagakerjaan. "Fokusnya pada supply, tapi solusi untuk menciptakan demand masih rendah," tuturnya.
Selain itu, program Jokowi hanya fokus pada pekerja dengan tingkat pendidikan rendah. Sementara, lulusan pendidikan tinggi justru terabaikan. Padahal, menurutnya, perlu ada terobosan baru agar lulusan sarjana mendapat akses pekerjaan juga.
"Misalnya dengan melihat lagi kesesuaian jurusan di perkuliahan dengan kebutuhan industri. Mungkin bisa merger atau menghapus jurusan yang memang tidak relevan lagi dan diganti dengan yang dibutuhkan," ungkapnya.
Bukti lain bahwa penciptaan lapangan kerja di era Jokowi masih berorientasi pada lulusan pendidikan rendah, sambungnya, terlihat dari tingkat pengangguran yang masih fluktuatif. Eko bilang ada kecenderungan tingkat pengangguran rendah pada awal tahun, namun kembali membengkak pada akhir tahun.
Hal tersebut tak lepas dari siklus panen sektor pertanian. Saat jelang panen, biasanya sektor pertanian membutuhkan buruh tani tambahan untuk menggarap lahan. Namun, ketika panen usai biasanya buruh tani itu tak bekerja lagi. "Ini menandakan penyerapan tenaga kerja masih bersifat musiman," imbuhnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) terbukti memang tingkat pengangguran selalu menurun pada periode Februari dalam lima tahun terakhir. Namun, kembali meningkat pada periode Agustus di setiap tahunnya.
Saksikan Live Streaming debat cawapres Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno pada Minggu (17/3) pukul 20.00 WIB di CNNIndonesia.com.
Sementara, cita-cita Prabowo menghapus jenis pekerja alih daya (outsource) dinilai tak mudah. Hal ini karena tingkat keterampilan pekerja di Indonesia masih belum sesuai dengan kebutuhan industri.
"Outsourcing seharusnya tidak hanya dilihat dari sisi kesejahteraan, tapi itu memang tantangan dari ketersediaan lapangan kerja dan daya saing industri. Jadi kalau mau selesaikan ini, perlu datang dengan terobosan konkrit, jelaskan strateginya agar tidak sekadar janji," tegas Faisal.
Sementara itu, Eko menilai gagasan yang ditawarkan mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) baru sebatas fokus pada persoalan tingkat kesejahteraan dan kesempatan kerja bagi tenaga kerja di dalam negeri.
"Bila Jokowi fokus ke persoalan supply, Prabowo mau lebih mengurus sisi demand, terlihat dari permintaan outsourcing yang seharusnya tidak marak dan isu tenaga kerja asing di Indonesia," ungkapnya.
Namun demikian, ia mengakui persoalan demand memang menantang. Sebab, realisasi investasi yang mengalir ke Tanah Air memang sedang melemah. Hal ini tercermin dari pertumbuhan investasi yang hanya tumbuh sekitar 4,1 persen pada 2018 dari 2017.
Menurutnya, suka atau tidak suka, realisasi investasi memang menjadi tolak ukur kemampuan penciptaan lapangan kerja ke depan. Untuk itu, bila mau membenahi sektor ketenagakerjaan dari sisi demand, maka Prabowo perlu mengupayakan peningkatan investasi agar permintaan tenaga kerja meningkat.
Bila investasi sudah masuk dan industri butuh tenaga kerja, maka mau tidak mau pasti pekerja Indonesia bisa terserap. Minimal, karena sudah menjadi kesepakatan negosiasi antara pemerintah dan investor untuk mengutamakan penggunaan pekerja domestik ketimbang asing.
"Tapi kalau investasi turun, beberapa sektor kerja pasti tidak tumbuh. Ini akar yang harus diselesaikan kalau bicara dari demand," terangnya.
Pengamat perburuhan Universitas Gadjah Mada (UGM) Susilo Andi Darma memandang semangat penghapusan outsourcing yang digemakan Prabowo sejatinya sulit diwujudkan.
"Outsourcing tidak bisa dihapuskan karena mutlak terjadi atas alasan kebutuhan industri yang lebih efisien. Di sisi lain, pemerintah perlu pertumbuhan industri yang efisien agar daya saing meningkat," terang dia.