Jakarta, CNN Indonesia -- Calon Wakil Presiden (Cawapres)
Sandiaga Uno menyinggung soal Tenaga Kerja Asing (
TKA) yang menjamur di tengah jumlah pengangguran yang mencapai 7 juta orang. Ia bahkan mengkritisi Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan TKA yang disebut memberikan 'karpet merah' bagi TKA.
"Isu tenaga kerja untuk strata terbawah ini, kami melihat saudara-saudara kita belum mendapat kesempatan kerja. Tapi, lapangan kerja tersebut diberikan ke warga negara asing," ujarnya, Minggu (18/3).
Sontak Cawapres Ma'ruf Amin membalas serangan dengan klaim penggunaan TKA di Indonesia yang terkendali. Bahkan, ia menyebut nilainya hanya 0,01 persen dari seluruh tenaga kerja yang digunakan Indonesia. "Angka itu paling rendah di seluruh dunia," kata pasangan Capres petahana Joko Widodo (Jokowi) tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Memang, pernyataan Ma'ruf ada benarnya. Kementerian Ketenagakerjaan melansir, jumlah TKA tercatat 95.335 orang hingga akhir tahun lalu. Angka ini terbilang cuma 0,07 persen dari jumlah penduduk yang bekerja yang sebanyak 124,01 juta.
Persoalannya, laju pertumbuhan TKA ini terus bertumbuh. Pada 2018, pertumbuhan TKA tercatat 10,88 persen dibanding 2017 sebesar 85.974 orang. Meski pertumbuhan ini melambat dibanding tahun sebelumnya 14,91 persen, tetap saja angka pertumbuhan TKA masih berada di atas dua digit.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan masalah TKA menjadi tamparan keras bagi kubu Jokowi-Ma'ruf. Sebab, ini merupakan indikasi bahwa pekerja di Indonesia 'miskin' keterampilan dan keahlian (skill and knowledge).
Sesuai aturannya, TKA digunakan hanya untuk skill yang tak dimiliki oleh pekerja lokal. Nantinya, sang TKA wajib mentransfer ilmu kepada pekerja lokal sebagai bagian dari transfer of knowledge. Namun, hingga sekarang ini, tidak ada konsep atau indikator mengenai transfer of knowledge yang sukses.
"Dan sebagai konsekuensi dari investasi riil, tentu ada beberapa pekerjaan yang membutuhkan skill khusus, di mana tenaga kerja lokal tidak bisa memenuhinya. Bagi investor, tidak ada waktu untuk melatih pekerja dalam negeri, tentu ya, mau tidak mau harus dengan TKA," jelas Ahmad kepada CNNIndonesia.com, Senin (18/3).
Sehingga, satu-satunya jalan agar tenaga kerja lokal bisa menggantikan TKA adalah intensifikasi pelatihan kerja. Solusi yang klasik memang, tapi hal inilah yang mampu meningkatkan kompetensi tenaga kerja lokal.
Ini diharapkan bisa mengangkat derajat kaum pekerja Indonesia dengan kilat, mengingat tenaga kerja Indonesia masih berpendidikan rendah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per November lalu mencatat jumlah tenaga kerja Indonesia masih didominasi oleh lulusan SD dan SMP dengan jumlah 72,89 juta jiwa atau 58,78 persen dari jumlah tenaga kerja 124,01 juta jiwa.
Hanya saja, pelatihan vokasi ini harus benar-benar menjamin lulusannya diterima bekerja. Makanya, harus ada modifikasi kurikulum vokasi, di mana pemerintah harus menggandeng investor dalam menyelenggarakan pendidikan vokasi. Sebab, hanya sang investor yang memahami skill dan keahlian yang dibutuhkan di proyek yang akan dibangunnya.
"Apalagi, saat ini pemerintah getol membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) sebagai (motor) pertumbuhan di luar Jawa, nah vokasi tersebut harusnya diarahkan ke sana. Dan ini harus dilakukan jauh-jauh hari, yang penting ketika investor butuh tenaga kerja, sudah tersedia," terang Ahmad.
Bahkan, ia menjelaskan bahwa usulan Ma'ruf yang berencana merevitalisasi Balai Latihan Kerja (BLK) dan vokasi bisa dikawinkan dengan usulan Sandiaga yang ingin membangun pusat pencarian tenaga kerja terpadu (
one stop service). Jika memang kedua pasangan serius dengan revitalisasi pelatihan kerja, harusnya isu TKA tidak lagi meledak di masa depan.
"Dan apabila ada TKA yang mau masuk, harus dipastikan ada transfer knowledge ke tenaga kerja lokal. Kalau perlu tenaga kerja lokal diajari bagaimana mereka bisa mengadopsi
knowledge dari TKA," imbuh dia.
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi mengatakan pelatihan tenaga kerja sejatinya juga harus disertai dengan staf pengajar dan fasilitas yang juga mumpuni. Ia mencontohkan, BLK di Jerman memiliki staf sebanyak 133 ribu orang dengan penduduk yang hanya 80 juta jiwa. Sementara BLK di Indonesia hanya punya 2 ribu staf dengan penduduk mencapai 260 juta jiwa.
Makanya, ia melihat kedua pasangan calon masih belum memiliki solusi yang jitu untuk memecahkan masalah di program link and match antara vokasi dan industri. Di satu sisi, ia penasaran dengan sumber pendanaan program vokasi dan BLK yang digaungkan Sandiaga, namun di sisi lain ia mengatakan berbagai bantuan ketenagakerjaan dari Ma'ruf melalui skema APBN juga dianggap kuno.
Ia menganggap belum ada hal revolusioner dari debat semalam. Apalagi, keduanya juga sudah tahu bahwa vokasi dan pelatihan kerja untuk menekan penggunaan TKA adalah solusi yang amat sangat tradisional.
"Saya sudah dicekoki masalah vokasi dan link and match ini sejak Wardiman Djojonegoro menjadi Menteri Pendidikan, tapi memang belum ada solusi konkretnya dan bagaimana hasil
link and match ini bisa sesuai dengan permintaan dunia usaha. Padahal, masalah pendidikan tenaga kerja melalui BLK ini penting, mengingat posisinya sebagai intermediaries antara pendidikan dan tenaga kerja," pungkasnya.
[Gambas:Video CNN] (bir)