Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat transportasi menilai
tarif MRT yang dipatok Rp8.500 per 10 km terbilang mahal. Sebab, biaya itu hanya meliputi
single trip (satu kali perjalanan) menggunakan
MRT, sehingga masyarakat yang melanjutkan perjalanan dengan
moda transportasi lainnya harus kembali merogoh kocek.
Pengamat Transportasi Azas
Tigor Nainggolan mengatakan biaya itu belum memasukkan komponen tarif transportasi dari rumah menuju stasiun
MRT.
"Saya pikir itu masih kemahalan (tarif
MRT). Kalau ia kerja di sekitar
Thamrin memang bisa jalan kaki (dari stasiun
MRT), tetapi kalau ia kerja di tempat lain, misalnya di Kota harus nyambung dengan Trans Jakarta," katanya kepada
CNNIndonesia.com.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia melanjutkan idealnya biaya transportasi masyarakat berkisar 15-20 persen dari Upah Minimum Provinsi (UMP). Jika mengacu UMP
DKI Jakarta pada 2019 sebesar Rp3,94 juta maka alokasi untuk transportasi masyarakat di kisaran Rp591 ribu-Rp788 ribu.
Hitungan kasar biaya yang harus dikeluarkan masyarakat jika menggunakan
MRT sebesar Rp8.500 per 10 km ditambah dengan
TransJakarta Rp3.500 menjadi Rp12 ribu atau Rp24 ribu untuk pulang pergi (PP). Jumlah tersebut belum memasukkan biaya transportasi dari rumah masyarakat ke stasiun dan tarif parkir di stasiun
MRT.
Oleh sebab itu,
Tigor meminta pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi (Pemprov)
DKI Jakarta mengembangkan
moda transportasi terintegrasi untuk memaksimalkan kehadiran
MRT. Tidak hanya dari sisi akses, angkutan massa juga sebaiknya
teringrasi dari sisi tarif.
"Saya usul Rp10 ribu satu paket, dalam arti dari rumah itu naik angkot dan
MRT dia sudah tidak bayar lagi. Lalu, dari
MRT begitu ia turun sambung Trans Jakarta tidak bayar lagi. Terintegrasi itu bukan hanya fisik tetapi sisi tiket juga harus terpadu," katanya.
Hal senada disampaikan oleh pengamat transportasi dan perkotaan dari Universitas
Trisakti Yayat Supriatna. Menurutnya, tarif
MRT sebesar Rp8.500 per 10 km terjangkau bagi masyarakat yang tidak membutuhkan
moda transportasi lainnya. Namun, akan berbeda jika penumpang harus berpindah
moda angkutan untuk menuju tempat kerja.
"Kalau satu kali perjalanan tidak ada masalah, tapi kalau ia harus pindah
moda misalnya Trans Jakarta, cukup besar angka Rp8.500. Apalagi kalau naik dari Lebak Bulus sampai Hotel Indonesia bisa di atas Rp8.500,"
tuturnya.
Oleh sebab itu, ia juga mendorong pemerintah segera menerapkan angkutan massa terpadu dengan tiket terintegrasi sebesar Rp10 ribu. Perhitungan ini telah
mempertimbngkan porsi biaya transportasi terhadap UMP
DKI Jakarta. Ia meyakini hal tersebut bisa mendorong masyarakat untuk beralih ke angkutan umum.
Kendati demikian, ia menyatakan jika penentuan tarif tersebut sudah sesuai dengan ekspektasi awal, yaitu 60-65 persen biaya disubsidi oleh pemerintah. Sedangkan sisanya sebesar 35-40 persen ditanggung masyarakat.
"Kalau tarif
MRT tanpa subsidi Rp1.900 per km. Jadi Rp850 per km ini tidak jauh-jauh dari ekspektasi yang sudah diperkirakan sebelumnya,"
tuturnya.
Pendapat berbeda disampaikan oleh pengamat transportasi Institut Studi Transportasi (Intrans)
Darmaningtyas. Menurutnya, besaran tarif
MRT Rp8.500 per 10 km sudah sesuai, tidak mahal pun tidak murah. Namun demikian, ia menyatakan sebaiknya tarif
MRT dipatok lebih tinggi yaitu Rp10 ribu, lantaran
MRT semestinya membidik masyarakat yang berkendara menggunakan mobil.
Toh, tarif Rp10 ribu jauh lebih ringan dibandingkan biaya operasional dengan membawa mobil setiap setiap harinya.
"Bagi orang-orang yang membawa mobil uang Rp10 ribu tidak berat," katanya.
Kemarin, Senin (25/3) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (
DPRD)
DKI Jakarta menetapkan tarif
MRT sebesar Rp8.500 per orang. Angka itu lebih rendah dari rata-rata usulan Pemprov
DKI Jakarta yang sebesar Rp10.000 per orang. Kendati sudah ditetapkan di
DPRD, Pemprov
DKI Jakarta menyebut tarif
MRT tersebut belum final dan masih berpeluang disesuaikan.
(ulf/agi)