Jakarta, CNN Indonesia -- Otoritas Jasa Keuangan (
OJK) mencatat rasio kredit macet perusahaan teknologi finansial (
financial technology/
fintech) per Februari 2019 berada di angka 3,18 persen. Angka ini melonjak dibandingkan Januari yakni 1,28 persen.
Deputi Komisioner Stabilitas Sistem Keuangan OJK Yohannes Santoso Wibowo menuturkan angka tersebut adalah rasio pinjaman macet di atas 90 hari terhadap total pembiayaan outstanding fintech. Sementara itu, OJK juga mencatat rasio pinjaman tidak lancar dalam jangka 30 hari hingga 90 hari milik fintech di periode yang sama sebesar 3,17 persen.
Angka ini disebutnya lebih tinggi dari rasio kredit bermasalah perbankan (Non Performing Loan/NPL) kotor pada periode yang sama yakni 2,59 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalaiu dibanding dengan bank, terlihat pembiayaan di fintech ini berisiko sekali," jelas Yohannes, Kamis (28/3).
Yohannes bilang, fintech ini adalah peer-to-peer lending, yakni perusahaan yang menghubungkan peminjam dengan nasabah. Kemudian, peminjam tentu paham sosok nasabah yang akan meminjam uangnya.
Namun, ketika masa tenggat pinjaman selesai, nasabah kerap menghilang begitu saja. Sebagai platform yang dipercayai peminjam, perusahaan fintech tentu akan menagih utang sang nasabah. Hanya, ada kalanya peminjam ini berlokasi sangat jauh, sehingga peminjam merelakan uang yang sudah digelontorkan.
"Misalnya fintech ini di Jakarta, tapi orangnya kabur ke Surabaya. Lalu apa mau mengejar ke sana? Misalkan meminjam Rp5 juta, tentu ongkos ke sana juga mahal. Hal-hal seperti ini yang kerap ditemukan," papar dia.
Menurut dia, pelaku usaha fintech sudah harus memitigasi risiko dari kredit macet. Terlebih, pembiayaan outstanding fintech sudah mencapai Rp7,05 triliun per akhir Februari atau melonjak 605 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya yakni Rp1 triliuun.
Agar kredit macet bisa ditekan, ia mengimbau asosiasi fintech untuk menyusun sistem yang bisa tukar menukar informasi debitur. Sistem ini, lanjutnya, bisa serupa dengan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) di perbankan, dengan tujuan agar satu fintech lain tak kena nasabah bermasalah seperti fintech lain.
Menurutnya, pembangunan sistem ini butuh waktu. Namun, ia mendengar bahwa asosiasi fintech seperti Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) dan Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) sudah berkomitmen menyusun sistem tersebut.
Kemudian, fintech juga perlu menetapkan ambang batas NPF yang diperkenankan. "Memang untuk mengetahui berapa ambang batas NPF yang aman itu butuh waktu. Tapi kalau mereka pakai teknologi, harusnya itu bisa diketahui dengan cepat," jelas dia.
Menurut data OJK per Februari 2019, saat ini terdapat 99 fintech yang sudah mengantongi izin OJK. Sebanyak 69 diantaranya, atau 69,69 persen merupakan badan usaha lokal dan 30 sisanya merupakan Penanaman Modal Asing (PMA).
OJK juga mencatat ada 41 perusahaan yang masih dalam proses pendaftaran dan 30 perusahaan fintech lain yang berminat mendaftar.
(glh/lav)