Ekonom Sebut 10 Masalah Rumit Perlu Dibahas di Debat Pilpres

CNN Indonesia
Jumat, 12 Apr 2019 13:07 WIB
Ekonom Indef Nawir Messi mengatakan ada 10 masalah mendesak yang harus dibahas dan dicarikan solusinya dalam debat Pilpres 2019 keempat akhir pekan ini.
Calon Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto saat debat Pilpres 2019 keempat. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengungkapkan ada sepuluh permasalahan ekonomi krusial yang perlu diangkat dalam debat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 kelima yang akan dilaksanakan Sabtu (13/4) nanti.

Ekonom senior Indef Nawir Messi mengatakan isu pertama, terkait perbaikan kuantitas dan kualitas pertumbuhan ekonomi. Dari sisi kuantitas, pertumbuhan ekonomi pada era reformasi belum bisa menyamai laju masa orde baru.

Pasalnya, rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 20 tahun terakhir hanya sebesar 5,27 persen.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jika pertumbuhan lima persen dalam enam tahun ini tidak diakselerasi, maka akan sulit bagi Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap)," katanya di Jakarta, Kamis (11/4) kemarin.


Dari sisi kualitas, ia menyatakan pertumbuhan ekonomi juga perlu diperbaiki. Meski bertumbuh, Indonesia masih mengalami ketimpangan.

Ketimpangan tercermin dari kontribusi Pulau Jawa dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Lima tahun lalu, porsi Pulau Jawa kepada PDB nasional mencapai 57,4 persen.

Pada 2018, porsinya justru naik jadi 58,48 persen.
"Ini menggambarkan bahwa pembangunan masih Jawa sentris," tuturnya.

Masalah kedua, berkaitan dengan inflasi. Saat ini memang inflasi rendah.

Tapi sayangnya, kondisi tersebut tak membuat daya beli tidak terdongkrak. Nawir mengatakan tren inflasi rendah, yakni sebesar 2,48 persen pada Maret 2019 tidak dibarengi dengan peningkatan konsumsi masyarakat.

[Gambas:Video CNN]

Ini tercermin dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang hanya berkisar di angka 4-5 persen. 
"Seiring inflasi rendah, pertumbuhan konsumsi juga mengalami kemacetan," imbuhnya.

Ketiga, isu penurunan daya saing. Ia mengatakan realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) menurun tahun lalu, meski peringkat kemudahan berusaha (EoDB) membaik.

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat pertumbuhan investasi tahun lalu hanya 4,1 persen menjadi Rp721,3 triliun dari posisi 2017 sebesar Rp692,8 triliun. Persentase itu melambat dibandingkan dengan realisasi pertumbuhan 2017 yang mencapai 13,1 persen.

"Survei terhadap perusahaan di Jepang menunjukkan penurunan popularitas Indonesia sebagai negara tujuan investasi langsung (Foreign Direct Investment/FDI)," katanya.


Berkebalikan dengan Indonesia, popularitas investasi Vietnam bagi investor Jepang justru meningkat dalam tiga tahun terakhir.  Keempat, berkaitan dengan isu impor yang akan terus berjalan.

Ia mengatakan tingkat ketergantungan industri terhadap impor masih tinggi. Bahan baku mendominasi sebesar 70 persen dari total impor.

Tidak hanya bahan baku, lanjutnya, impor barang konsumsi menunjukkan tren kenaikan. Dalam tiga tahun terakhir, impor barang konsumsi mencapai 9 persen.

Padahal selama 16 tahun selalu berada di posisi 7-8 persen.
"Impor konsumsi memperlihatkan bahwa industri dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri diakibatkan pergeseran struktur ekonomi ke arah jasa," jelasnya.


Kelima, isu deindustrialisasi dini. Menurutnya, deindustrialisasi adalah lumrah.

Namun khusus di Indonesia, masalah tersebut terjadi lebih cepat dari negara Asia Tenggara lainnya. Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia mengalami penurunan porsi manufaktur terhadap PDB hingga 7 persen.

Padahal, negara setara Indonesia di Asia Tenggara, yakni Malaysia dan Thailand penurunan tidak lebih dari 4 persen.
Keenam, isu logistik yang tidak mendorong perdagangan.

Ia menuturkan rasio nilai perdagangan Indonesia terhadap PDB hanya sebesar 39,54 persen. Jumlah ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan Malaysia yang bisa sebesar 135,9 persen dan Thailand sebesar 121,66 persen.


Rendahnya rasio nilai perdagangan Indonesia salah satunya disebabkan minimnya peran logistik dalam perdagangan.  
"Logistic Performance Index (LPI) 2018 sebesar 3,15. Lebih rendah dari Thailand, Malaysia, dan Vietnam," katanya.

Ketujuh, isu revolusi industri 4.0 tidak disertai rencana matang. Alasannya, revolusi industri 4.0 tidak memiliki perencanaan mendasar terkait program yang akan dikembangkan, sektor prioritas, dan persiapan infrastruktur.

Selain itu, pemerintah belum menyiapkan mitigasi tenaga kerja terdampak revolusi industri 4.0.
Kedelapan, isu rendahnya kinerja perpajakan dan peningkatan risiko utang.

Ia mengatakan tax ratio mengalami tren penurunan pada periode 2012-2017, meski mengalami peningkatan pada 2018 menjadi 11 persen terhadap PDB. Namun, capaian itu lebih rendah dari target RPJMN 2015-2019 sebesar 15,2 persen.


Berbanding terbalik dengan tax rasio, rasio utang terhadap PDB justru meningkat. Ini mencerminkan kemampuan membayar utang pemerintah menurun.

"Implikasinya beban pembayaran bunga utang terhadap belanja pemerintah pusat semakin tinggi, dari 11 persen di 2014 menjadi 17,13 di 2019," tuturnya.

Kesembilan, isu Dana Desa. Ia mengatakan peningkatan dana desa tidak berbanding lurus dengan kenaikan indikator sosial di pedesaan.

Tercatat, Dana Desa meningkat dari Rp20,8 triliun di 2015 menjadi Rp70 triliun di 2019. Namun, tren ketimpangan desa juga bertumbuh dari 0,316 di September 2016 menjadi 0,324 di Maret 2018.


Kesepuluh, isu inkonsistensi kebijakan energi. Pada 2015, pemerintah memangkas subsidi energi hingga 65,16 persen dari Rp342 triliun menjadi Rp119 triliun.

Namun, pada 2018, subsidi energi melonjak hingga 57 persen dan sebesar 4,23 persen di 2019.
Nawir mengatakan pembengkakan subsidi energi karena kenaikan harga minyak mentah dunia dan depresiasi nilai tukar rupiah.

"Agar subsidi tidak terus melonjak, maka pemerintah perlu membenahi target penerima subsidi agar lebih tepat sasaran, meliputi subsidi gas elpiji 3 kilogram (kg), dan pelanggan listrik golongan 900 VA," ujarnya.

Nawir berharap calon presiden dan wakil presiden bisa menawarkan program yang jelas dan bisa dilaksanakan untuk mengatasi masalah tersebut.
(ulf/agt)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER