Pengusaha Minta Pemerintah Buka Pasar untuk Maskapai Asing
CNN Indonesia
Kamis, 25 Apr 2019 08:16 WIB
Bagikan:
url telah tercopy
Ilustrasi. (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan).
Jakarta, CNN Indonesia -- Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengusulkan agar pemerintah membuka kesempatan lebih luas bagi maskapai asing untuk masuk ke pasar penerbangan dalam negeri. Keberadaan maskapai asing tersebut diyakini bisa memacu kompetisi sehat di dunia penerbangan, sehingga berpengaruh pada harga tiket pesawat.
Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi PHRI Maulana Yusran menuturkan tarif tiket murni terbentuk dari pasar, baik pemerintah maupun masyarakat tidak bisa banyak melakukan intervensi.
Oleh sebab itu, salah satu cara untuk memudahkan harga tiket pesawat dipengaruhi adalah dengan menambah pemain di pasar penerbangan. Saat ini, pasar penerbangan Indonesia terlalu dikuasai oleh dua pemain besar, yaitu Garuda Indonesia Group, yakni PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, Citilink Indonesia, Sriwijaya Air, dan NAM Air.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemain lainnya adalah Lion Group, yang beranggotakan Lion Air, Batik Air, dan Wings Air. "Jadi, bukan dibuka lebih luas semua masuk, tidak. Sekarang kan yang kita hadapi hanya Lion Group dan Garuda Group. Kalau bisa ada Air Asia Group minimum ada tiga atau empat grup yang bermain, sehingga pasar yang menentukan (harga)," katanya, Rabu (24/4).
Ia melanjutkan meski membuka pasar bagi maskapai penerbangan asing, toh pemerintah masih bisa melakukan kebijakan untuk melindungi maskapai dalam negeri. Pasalnya, jika pemerintah terus membiarkan dua grup maskapai penerbangan itu terus menguasai pasar Indonesia, ia khawatir akan timbul persaingan bisnis tidak sehat yang ujung-ujungnya merugikan konsumen.
"Kalau misalnya ada pemain lokal atau baru bergerak ya kurangin asingnya, tapi jangan sampai pemainnya cuma dua," katanya.
Kendati demikian, Pengamat Penerbangan Gerry Soejatman menyatakan bahwa usulan PHRI itu kalau dilakukan justru bisa menimbulkan masalah baru. Pasalnya, maskapai asing wajib membuka minimal 50 persen penerbangan domestik jika ingin beroperasi di langit Indonesia.
"Tiap negara beda-beda, tetapi rata-rata tiap negara (pasar domestik 50 persen), kecuali ia punya pasar bebas terbuka ada ketentuannya," jelasnya.
Menurutnya, solusi tepat untuk problematika tarif tiket di Indonesia adalah dengan mencari harga dan strategi yang tepat untuk pasar Indonesia. Ia menuturkan hal itu bisa dilakukan dengan implementasi yield management oleh masing-masing maskapai.
Yield management dilakukan dengan membedakan tarif tiket untuk penumpang yang pesan jauh-jauh hari dan penumpang yang memesan tiket mendekati waktu penerbangan.
"Caranya kalau orang mau terbang jauh-jauh hari sebelumnya, dia bisa di-reward oleh maskapai dengan harga yang murah. Kalau ia mau last minute (menit akhir), sorry harganya mahal. Sekarang semuanya mahal, jauh-jauh hari mahal." katanya.
Selain itu, maskapai juga diminta untuk melakukan efisiensi dalam tubuh perusahaan. Namun demikian, dengan efisiensi ini bukan berarti maskapai menekan pelayanan mereka.
"Contoh yang bagus itu Air Asia, mereka berhasil memahami pasar Indonesia. Loyalitas ia tinggi sekali di antara penumpang," katanya.
Masyarakat mulai melancarkan protes terkait mahalnya harga tiket pesawat awal tahun ini. Keluhan masyarakat tersebut direspons positif oleh Indonesia National Air Carrier Association (INACA) dengan kebijakan penurunan harga tiket.
INACA menyebut rentang penurunan harga tiket domestik berkisar 20 persen-60 persen, bergantung kebijakan masing-masing maskapai. Kebijakan ini berlaku untuk 34 maskapai yang tergabung dalam INACA, termasuk di dalamnya Garuda Indonesia, Citilink, Lion Air, Sriwijaya.
Presiden Joko Widodo bahkan telah turun tangan mengimbau maskapai agar menurunkan tarif tiket pesawat. Meski demikian, masih banyak masyarakat yang hingga kini masih mengeluhkan mahalnya tarif tiket pesawat, terutama untuk destinasi luar Jawa.