Jakarta, CNN Indonesia -- PT
Garuda Indonesia (Persero) Tbk optimis bisa meraih laba bersih sebesar US$70 juta atau setara Rp980 miliar pada tahun ini, setelah mengalami
rugi bersih sebesar US$175 juta atau Rp2,45 triliun pada tahun lalu.
Optimisme ini berasal dari upaya perseroan melakukan efisiensi, serta mendulang pendapatan operasional yang lebih mumpuni.
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia Fuad Rizal mengatakan efisiensi yang dilakukan berpusat di dua inti beban operasional, yakni bahan bakar dan biaya sewa pesawat (leasing). Sebab, kedua faktor tersebut menyumbang 60 persen dari total beban operasional perusahaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari segi bahan bakar, efisiensi yang dilakukan adalah melakukan pembenahan rute-rute yang dianggap kurang menguntungkan agar bahan bakar yang digunakan tidak mubazir. Ia mencontohkan baru-baru ini Garuda Indonesia mengganti rute Denpasar-London dengan Jakarta-London melalui Medan yang utilisasinya terbilang lebih banyak.
Tak hanya itu, perusahaan juga melakukan lindung nilai (hedging) untuk biaya avtur. Sehingga beban avtur yang dibayar perusahaan masih akan tetap sama meski ada risiko perubahan nilai tukar dan perubahan harga minyak.
Hanya saja, hedging baru bisa dilakukan di Singapura dan Hong Kong karena bank di Indonesia belum memperbolehkan hedging untuk komoditas bahan bakar minyak.
Efisiensi itu disebutnya sudah mulai terlihat pada kuartal I lalu, di mana perusahaan hanya mengeluarkan uang bahan bakar sebesar US$286,12 juta atau lebih hemat dibanding tahun sebelumnya US$315,98 juta.
"Efisiensi bahan bakar terjadi karena kami optimalkan produksi kami, jadi kami sesuaikan juga dengan permintaan," ujar Fuad, Jumat (26/7).
Di sisi lain, efisiensi dari sewa pesawat akan dilakukan dengan merestrukturisasi masa sewa pesawat terhadap 10 hingga 15 armada yang dimilikinya. Dengan cara ini, ia yakin biaya sewa pesawat bisa lebih rendah 25 persen hingga 30 persen dibandingkan dengan sewa-sewa dengan durasi yang lebih pendek.
Adapun selama tiga bulan pertama 2019, perusahaan membayar sewa pesawat sebesar US$286,12 juta atau lebih rendah dibanding tahun lalu, yakni US$315,98 juta.
"Dan dukungan pemerintah pun sudah ditunjukkan dengan membantu kami bernegosiasi dengan Industrial and Commercial Bank of China (ICBC) Aviation Co. Ltd sebagai salah satu lessor kami," ungkapnya.
Efisiensi tersebut juga dibarengi dengan perbaikan di sisi pendapatan operasional yang diprediksi lebih kinclong dibanding tahun lalu sebesar US$3,8 miliar. Menurut Fuad, salah satu faktor penyumbang pendapatan ialah kenaikan rata-rata tarif penerbangan domestik dan internasional yang dikenakan sejak awal tahun ini.
[Gambas:Video CNN]Makanya, tak heran jika pendapatan operasional perusahaan di kuartal I mencapai US$927,79 juta atau lebih tinggi dibanding periode sama tahun sebelumnya, yakni US$848,25 juta. Tapi, meski ada kenaikan tarif, Fuad mengklaim tarifnya tidak pernah melebihi Tarif Batas Atas (TBA) yang ditetapkan pemerintah.
"Itu adalah penyebab mengapa kami masih bisa membubuhkan kenaikan pendapatan di kuartal I meski secara tren, biasa awal tahun ini sudah masuk
low season," jelasnya.
Hanya saja, pendapatan perusahaan di kuartal II mungkin akan tertekan setelah pemerintah menerbitkan aturan penurunan TBA sebesar 15 persen pada Mei lalu. Tapi, Fuad optimistis pendapatan akan membaik lagi di kuartal III seiring pendapatan penerbangan haji.
"Kami harap ini bisa terus membaik antar kuartal, sehingga di akhir tahun kami bisa tarik
net profit US$70 juta," pungkasnya.
(glh/bir)