Jakarta, CNN Indonesia -- Ekonom meminta pemerintah tak tergesa-gesa mengimplementasikan program
kartu prakerja. Pasalnya, pemangku kepentingan membutuhkan waktu satu sampai dua tahun untuk mengumpulkan data rinci mengenai jumlah
pengangguran atau masyarakat yang berhak mendapatkan fasilitas tersebut.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menyatakan pemerintah, khususnya Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) perlu bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Keuangan, dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dalam membuat basis data.
Basis data itu yang menjadi acuan pemerintah untuk memberikan kartu pra kerja. Dengan demikian, program ini tak salah sasaran dan mubazir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bangun basis data saja perlu waktu satu sampai dua tahun. Misalnya kan melibatkan BPS, kemudian melibatkan industri terkait, industri yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Mereka melapor ke Kemnaker, itu harus ada basis data," ucap Tauhid, Senin (19/8).
Jika tidak demikian, Tauhid khawatir program kartu pra kerja bisa dimanfaatkan pihak-pihak tertentu, sehingga masyarakat yang harusnya mendapatkan justru tak tersentuh oleh pemerintah. Hal ini juga bisa menimbulkan kecemburuan sosial ke depannya.
"Takutnya bisa jadi masalah sosial yang akan meletup di kemudian hari, karena dia dapat yang lain tidak. Ini dikhawatirkan terjadi kalau tidak ada persiapan yang matang," jelasnya.
Setelah basis data rampung, bukan berarti pemerintah bisa langsung mengimplementasikan program kartu pra kerja secara nasional. Tauhid menyarankan agar praktiknya dilakukan secara bertahap.
"Selesai pendataan setelah itu verifikasi dulu. Uji coba dulu nantinya baru bisa meluas. Kalau belum validasi nanti akan berantakan menurut saya," ucap dia.
Sementara itu, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Falianty menuturkan pemerintah harus memastikan bahwa fasilitas yang diberikan benar-benar dimanfaatkan masyarakat untuk meningkatkan keterampilannya, sesuai dengan target awal.
Selain itu, uang yang diberikan sebagai insentif dari pemerintah juga harus digunakan untuk kegiatan produktif. Bukan hanya konsumtif semata.
"Uang itu harus ada penjelasannya juga pemanfaatannya untuk apa, lebih ke produktif. Jangan konsumtif," ujar Telisa.
Selain itu, pemerintah juga harus memperhatikan berapa lama insentif itu diberikan. Sebab, jika terlalu lama nantinya masyarakat justru menjadi malas untuk mencari kerja.
"Kalau voucher sejenis di luar negeri hanya tiga bulan. Ini harus ada batas waktu. Di sini enam bulan cukup ideal karena itu mempertimbangkan proses mencari kerja," jelasnya.
Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menyatakan pemerintah akan mengucurkan dana Rp10 triliun atau setara dengan 2 juta kartu untuk mengimplementasikan program ini. Rinciannya, Sebanyak 500 ribu kartu bisa digunakan untuk pelatihan reguler, sementara 1,5 juta kartu digunakan untuk pelatihan digital.
Di dalam pelatihan reguler, nantinya pengangguran bisa mendapatkan kursus di Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) milik pemerintah atau swasta sehinga nanti masyarakat bisa mendapatkan sertifikasi. Kemudian, masyarakat bisa memilih jenis pelatihan kerja melalui platform daring bagi yang mengikuti pelatihan digital.
Kartu itu akan diberikan kepada lulusan SMA/SMK atau perguruan tinggi dan korban PHK. Masing-masing pemilik kartu memiliki hak untuk ikut pelatihan maksimal dua bulan dan setelah itu mendapatkan insentif dalam waktu tiga bulan saja.
Setelah waktu itu habis, pengangguran tak bisa memperoleh insentif lagi meski belum mendapatkan pekerjaan baru. Terkait berapa besaran insentif yang akan diberikan, Hanif menyatakan masih didiskusikan dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
[Gambas:Video CNN] (aud/lav)