Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (
Bappenas) mengakui dampak urbanisasi terhadap
pertumbuhan ekonomi di Indonesia kalah jauh dibanding negara-negara Asia timur lain.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Bambang Brodjonegoro mengatakan laporan itu ia dapat dari World Urbanization Prospects yang dirilis oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam laporan disebutkan bahwa kenaikan 1 persen populasi urban hanya membuat pendapatan per kapita Indonesia tumbuh 1,4 persen.
Angka ini lebih kecil dibanding China, yakni kenaikan 1 persen populasi urban meningkatkan pendapatan per kapita sebesar 3 persen. Bahkan, angka Indonesia ini lebih kecil dibanding rata-rata negara Asia Pasifik Timur yakni kenaikan 1 persen populasi perkotaan bisa meningkatkan pendapatan per kapita sebesar 2,7 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini menjadi indikasi bahwa pengembangan wilayah perkotaan ke depan harus dihitung secara hati-hati. Kami harus menyelesaikan masalah ini," papar Bambang, Kamis (3/10).
Ia menuturkan, masalah ini menjadi sangat serius mengingat populasi Indonesia akan berpindah ke daerah perkotaan di masa depan. Bappenas memproyeksi bahwa 72,8 persen populasi Indonesia akan berada di daerah perkotaan pada 2045 mendatang atau melesat dibanding posisi 2010 yakni 49,9 persen.
Bambang berdalih rendahnya dampak urbanisasi terhadap pertumbuhan ekonomi lantaran kawasan metropolitan di Indonesia tidak memiliki sarana yang memadai untuk kegiatan ekonomi. Misalnya, infrastruktur dasar seperti air bersih, sanitasi, hingga sarana transportasi.
Namun, menurut dia, permasalahan utama pengembangan kawasan perkotaan di Indonesia adalah administrasi pemerintahan daerah. Pengembangan wilayah metropolitan Jakarta, misalnya, menjadi salah satu contoh kasus yang paling menonjol.
Ia kemudian berkisah mengenai proyek Mass Rapid Transportation (MRT) dari Bundaran HI yang hanya berhenti sampai Lebak Bulus. Padahal menurutnya, permintaan tertinggi MRT sejatinya berada di kawasan Tangerang Selatan, sehingga seharusnya jalur MRT diperpanjang menuju ke sana.
Namun, pengembangan itu terhambat lantaran Tangerang Selatan tidak termasuk wilayah DKI Jakarta. Sehingga, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta tidak boleh membiayai sepeser pun proyek yang berada di Tangerang Selatan. Padahal, MRT tentu membantu kegiatan ekonomi di wilayah satelit menuju Jakarta.
"Padahal luas area ekonomi ini berbeda dengan area administrasi, area ekonomi tidak mengenal batas-batas wilayah administrasi," jelas dia.
Oleh karena itu, saat ini Bappenas dan Badan Pusat Statistik (BPS) tengah menyusun definisi baru wilayah metropolitan di 10 wilayah urban, yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang, Banjarmasin, Denpasar, Makasar, dan Manado. Hal ini dimaksudkan agar pengembangan wilayah metropolitan bisa lebih mumpuni tanpa harus berhalangan dengan batas-batas administrasi.
[Gambas:Video CNN]Setelah redefinisi ini selesai, Bappenas akan berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri agar masing-masing wilayah administrasi yang berada di satu kawasan metropolitan bisa melakukan konsolidasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang berfokus di tiga kegiatan seperti pengelolaan sampah, transportasi, dan air bersih.
Sebagai contoh, wilayah metropolitan Jakarta saat ini tersebar di Tangerang yang berada di Provinsi Banten dan Bogor, Depok, dan Bekasi yang berada di Provinsi Jawa Barat. Nantinya, APBD DKI Jakarta bisa dikonsolidasikan dengan APBD Banten dan Jawa Barat untuk mengembangkan sarana dasar wilayah metropolitan Jakarta secara bersama-sama.
"Regulasinya sedang kami pikirkan, tapi kami harap ini tidak akan mempengaruhi uu yang sudah ada karena nanti ujungnya adalah fleksibilitas APBD di wilayah-wilayah yang terdapat di kawasan metropolitan tersebut," papar dia.
(glh/lav)