Jakarta, CNN Indonesia -- Pemilik PT
Medco Energi Internasional Tbk (MEDC)
Arifin Panigoro menyebut Menteri Keuangan
Sri Mulyani pelit dalam memberikan insentif fiskal bagi pengusaha minyak dan gas (migas). Menurutnya, aturan insentif fiskal yang diterbitkan Kementerian Keuangan masih kurang fleksibel dan menarik bagi pengusaha minyak.
Selain Sri Mulyani, Arifin juga menyinggung soal Menteri ESDM Ignasius Jonan. Menurutnya, Jonan tak tegas dalam membuat kebijakan bagi industri migas.
Hal ini disampaikan dalam acara Sarasehan Migas Nasional yang diselenggarakan oleh Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) pada Kamis (10/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam agenda itu seharusnya Sri Mulyani dan Jonan hadir. Namun, mereka berhalangan hadir dalam agenda tersebut.
"Menteri tidak datang tidak apa-apa, kadang-kadang kan kami ingin membicarakan menterinya juga. Sri Mulyani pelit, Jonan tidak tegas. Kalau ada kan jadi tidak berani ngomong," ucap Arifin.
Namun ketika dikonfirmasi lebih lanjut usai acara terkait ungkapannya tersebut, ia mengaku hanya guyon. "Kalau tidak ada menteri, ngomongnya lebih bebas. Becanda saja, tapi jadi menteri keuangan memang harus pelit. Kalau tidak ya bocor," kata dia.
Ia hanya mengatakan kalau kebijakan fiskal yang diterapkan Sri Mulyani saat ini kurang fleksibel. Hal itu membuat investor masih kurang tertarik untuk menggarap bisnis migas di Indonesia.
"Jadi bukan hanya di Kementerian ESDM tapi harus dilihat semua. (Fiskal) masih kurang lah, kurang fleksibel, kurang ramah jadi makanya orang (investor) pada keluar)," ungkapnya.
[Gambas:Video CNN]Selain fiskal, Arifin juga meminta Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengkaji lagi kebijakan skema kontrak kerja sama migas
(Production Sharing Contract/PSC) gross split. Evaluasi dipandang perlu demi mengerek investasi di sektor migas di dalam negeri.
"Saya kira sistem itu harus dievaluasi, keadaan dunia juga berubah. Kalau diam saja orang (investor) tidak akan tertarik. Kalau begitu bagaimana bisa menaikkan produksi," ucap Arifin.
Gross split sendiri bisa diartikan sebagai sistem bagi hasil migas, di mana pemerintah tidak perlu lagi membayar
cost recovery. Namun, sebagai konsekuensinya, jatah bagi hasil pemerintah menjadi lebih kecil di dalam bagi hasil (
split) produksi migas.
Menteri ESDM Ignasius Jonan sebelumnya menjelaskan skema
gross split dipilih agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tak terbebani akibat membayar
cost recovery kepada Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) setiap tahun.
Kebijakan tersebut mulai berlaku pada 2017 dan dituangkan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 52 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri SDM Nomor 08 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
(aud/agt)