Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK) menyebutkan kenaikan iuran
BPJS Kesehatan, seperti tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019, sebagai kado terburuk bagi rakyat Indonesia di Pemerintahan Presiden Joko Widodo (
Jokowi) jilid kedua.
Presiden ASPEK Mirah Sumirat mengaku kecewa dengan perpres yang terbit pada 24 Oktober 2019 itu. Menurut dia, perpres itu menjadi bukti pemerintah tidak mau tahu dengan kesulitan yang dialami masyarakat.
"Perpres ini juga menunjukkan pemerintah dan BPJS Kesehatan hanya ingin mengambil jalan gampang dan tidak kreatif dalam mengatasi defisit BPJS Kesehatan. Pemerintah juga tidak menyelesaikan akar permasalahan penyebab defisit," ujarnya dalam siaran pers, Rabu (30/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, ia melanjutkan sebelum perpres terbit, sudah banyak elemen masyarakat yang menyatakan keberatannya atas rencana kenaikan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) itu.
Sesuai perpres, kenaikan di kalangan peserta mandiri itu mencapai 100 persen. Untuk kelas III mandiri naik dari Rp25.500 menjadi Rp42 ribu per peserta per bulan, dan kelas II mandiri naik dari Rp51 ribu menjadi Rp110 ribu, serta kelas I mandiri menjadi Rp160 ribu dari sebelumnya Rp80 ribu.
"Kenaikan iuran 100 persen yang akan diterapkan mulai 1 Januari 2020 itu jelas sangat memberatkan rakyat di saat daya beli masyarakat turun karena minim penghasilan dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di berbagai perusahaan," imbuh Mirah.
Seharusnya, untuk mengatasi defisit, lebih lanjut ia menjelaskan pemerintah membenahi dan menindak temuan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait akar masalah defisit BPJS Kesehatan yang diungkapkan pada 21 Agustus 2019 lalu.
Saat itu, BPKP merekomendasikan perbaikan pengelolaan program JKN yang meliputi aspek kepesertaan dan penerimaan iuran, biaya manfaat jaminan kesehatan, serta strategic purchasing.
"Ada temuan badan usaha yang belum bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, lalu ada perusahaan yang melaporkan jumlah pegawainya lebih rendah dari seharusnya, juga terkait penghasilan lebih rendah dari seharusnya," tegas dia.
Temuan lainnya, yakni tingkat kepesertaan aktif Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) yang masih rendah, yaitu baru mencapai 53,72 persen. Hal ini membuktikan BPJS Kesehatan masih belum efektif dalam mengedukasi dan sosialisasi kepada masyarakat.
"BPKP juga menemukan masih ada permasalahan validasi dan integritas data BPJS Kesehatan, antara lain nomor induk kependudukan yang salah, NIK ganda, hingga peserta yang seharusnya tidak masuk ke kelompok miskin," tutur Mirah.
Pada aspek manajemen biaya manfaat, Sekretaris Jenderal ASPEK Sabda Pranawa Djati menambahkan temuan BPKP terkait belum efektifnya pencegahan kecurangan oleh BPJS Kesehatan, Dinas Kesehatan, Faskes Tingkat Pertama, Faskes Rujukan Tingkat Lanjutan.
Temuan BPKP selanjutnya adalah masih ada permasalahan dalam manajemen klaim, seperti misreading, upcoding, klaim ganda, klaim oleh peserta dengan status meninggal, hingga klaim oleh bukan peserta aktif.
Sedangkan pada bidang strategic purchasing, temuan BPKP adalah klasifikasi rumah sakit yang tidak sesuai dengan kriteria persyaratan dalam Peraturan Menteri Kesehatan.
Ketidaksesuaian ini, ia menilai terjadi dalam aspek pelayanan, sumber daya manusia, dan sarana prasarana. Inilah yang mengakibatkan terjadinya inefisiensi atas tarif klaim rumah sakit.
"Oleh karenanya, ASPEK meminta Presiden Jokowi untuk membatalkan Perpres 75/2019 dan fokus untuk menyelesaikan akar masalah dari defisit BPJS Kesehatan sebagaimana temuan BPKP. Jangan karena pemerintah yang gagal mengelola, kemudian bebannya ditimpakan kepada rakyat melalui kenaikan iuran," pungkas dia.
[Gambas:Video CNN] (bir)