Nusa Dua, CNN Indonesia -- Wakil Menteri Luar Negeri (
Wamenlu)
Mahendra Siregar memperkirakan pasar
sawit Indonesia akan beralih ke dalam negeri dari sebelumnya berorientasi ekspor dalam 5 sampai 10 tahun ke depan. Pasalnya, ekonomi negara-negara maju seperti di kawasan Eropa mulai 'sunset' alias melemah.
Sementara, negara-negara berkembang mulai menjadi tulang punggung ekonomi dunia. Hal ini disampaikan Mahendra saat menghadiri perhelatan konferensi sawit tahunan bertajuk Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2019 di Nusa Dua, Bali, Jumat (1/11).
"Jangan lupa empat dari lima dan tujuh dari 10 kontribusi ekonomi dunia dalam 10 tahun ke depan berasal dari negara berkembang, bukan maju. Ini harus dipenuhi, jadi ke depan bukan memenuhi konsumen Eropa yang ekonominya sedang sunset," ucap Mahendra.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai gambaran, ekonomi negara-negara di kawasan Eropa hanya mencapai 0,2 persen pada kuartal III 2019. Sementara negara maju lain, seperti Amerika Serikat hanya sekitar 1,9 persen.
Dari sisi angka, pertumbuhan ekonomi ini masih kalah dibandingkan Indonesia dan India di kisaran 5 persen serta China sekitar 6 persen. Menurutnya, prospek ekonomi ini tentu menjadi dasar yang sama bagi potensi pasar sawit nasional ke depan. Untuk itu, ia melihat potensi pasar sawit akan beralih ke dalam negeri sendiri.
Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), produksi minyak sawit mentah (
Crude Palm Oils/CPO) mencapai 34,7 juta ton pada Januari-Agustus 2019. Dari jumlah itu, hasil produksi yang dikonsumsi di dalam negeri sebanyak 11,7 juta ton per periode yang sama.
Sementara sisanya sekitar 23 juta ton mengalir ke beberapa negara tujuan ekspor, seperti China, Timur Tengah, Amerika Serikat, India, Uni Eropa, Pakistan, dan lainnya. Namun, porsi pasar ini diperkirakannya akan berbalik secara perlahan.
"Pasar terbesar untuk sawit dunia adalah Indonesia, saat ini konsumsi mungkin sekitar 13 juta ton, nanti akan menjadi 15 juta, 20 juta, 25 juta, dan seterusnya. Kalau sekarang sekitar 30 persen (dari produksi), nanti jadi 50 persen lebih, baru sisanya diekspor, itu pun turunannya," terangnya.
Selain faktor pertumbuhan ekonomi, potensi pergeseran pasar sawit dari ekspor ke Tanah Air juga terlihat dari tingginya jumlah penduduk di dalam negeri. Selain itu, kebetulan, pemerintah tengah menjalankan program mandatori campuran minyak sawit ke Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Solar atau dikenal dengan Biodiesel.
Saat ini, pemerintah menjalankan program mandatori biodiesel 20 persen (B20) dan tahun depan meningkat menjadi 30 persen (B30). Hal ini akan membuat kebutuhan minyak sawit meningkat di dalam negeri.
Di luar Indonesia, katanya, permintaan sawit Indonesia akan tetap besar dari sejumlah negara berkembang, seperti Asia Selatan. Misalnya, India, Pakistan, dan Bangladesh.
"Dari kacamata pasar global, kami tetap harus melakukan pendekatan ke China, tapi negara-negara Asia Selatan juga akan besar (permintaannya)," ungkapnya.
[Gambas:Video CNN]Tak ketinggalan, ia turut memberi perspektif bahwa orientasi kerja sama perdagangan ke depan akan lebih cenderung ke perjanjian dua negara alias bilateral. Jenis perjanjian ini akan melampaui efektivitas kerja sama secara kawasan atau regional dan kerja sama banyak negara alias multilateral.
"Tapi memang bilateral ini lebih menguntungkan, ini yang perlu dipahami. Maka sawit pun harus siap untuk investasi dan jaga keberlanjutan," pungkasnya.
(uli/sfr)