Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi
Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengakui kemunculan
fintech peer to peer (P2P) lending atau pinjam meminjam ilegal memberikan dampak negatif kepada
industri, salah satunya dari sisi kepercayaan calon
nasabah.
Kepala Bidang Humas dan Kelembagaan AFPI Tumbur Pardede mengatakan mereka tidak tinggal diam atas ulah
fintech ilegal tersebut. Upaya yang dilakukan oleh asosiasi yakni memantau aplikasi
fintech lending dalam
play store. Lalu, apabila menemukan
fintech lending yang terindikasi ilegal maka mereka melaporkan kepada pihak terkait untuk ditindaklanjuti.
"Kami memiliki
task force (tim) internal untuk melakukan tindakan preventif," katanya, Kamis (19/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, mereka juga gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai keberadaan
fintech lending legal maupun ilegal. Tujuannya, agar masyarakat mawas diri serta menghindari
fintech ilegal.
Guna memperkuat keberadaan
fintech lending dari sisi hukum, ia mengusulkan kepada pemerintah untuk membentuk Undang-undang fintech. Hal ini serupa dengan industri perbankan yang diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan maupun industri asuransi lewat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian.
Saat ini, industri
fintech berada di bawah pengaturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui POJK Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
"Jadi kalau ada praktek perbankan gelap bisa ditindak, sehingga kecil sekali pihak-pihak yang menjalankan praktik bank ilegal karena ada undang-undangnya," imbuhnya.
Selain uu tentang
fintech lending, ia juga menyarankan pemerintah membentuk uu tentang perlindungan data nasabah. Pasalnya, oknum
fintech lending ilegal kerap kali mencuri data nasabah untuk melakukan ancaman.
[Gambas:Video CNN]Ia menuturkan ciri utama
fintech ilegal adalah meminta akses kepada data kontak. Padahal
fintech legal hanya memiliki keterbatasan akses kepada mikrofon, lokasi, dan kamera.
Usulan ini menindaklanjuti pengaduan dari korban
fintech lending ilegal. Oknum
fintech ilegal tersebut melakukan penagihan secara acak kepada nomor yang tertera dalam daftar kontak nasabah.
"UU Perlindungan Data Pribadi tidak hanya bermanfaat kepada
fintech tapi juga buat pedoman bagi digital platform," ucapnya.
Indikasi Nasabah NakalSelain keberadaan
fintech lending ilegal, ia juga mengaku menemukan indikasi nasabah nakal. Definisi nasabah nakal adalah mereka yang melakukan pinjaman lebih dari satu platform, baik dari
fintech ilegal legal maupun ilegal.
"Kalau masyarakat dia bisa akses pinjaman
online, seharusnya secara otomatis dia punya kemampuan untuk cek bahwa
fintech ini terdaftar atau tidak," katanya.
Ia menegaskan
fintech lending bukan tempat bagi nasabah yang memiliki tujuan gali lubang tutup lubang. Pasalnya, ia menemukan kecenderungannya nasabah yang meminjam lebih dari satu platform tujuannya adalah menutupi uang pinjaman dari platform lainnya.
"Karena uang yang dipinjam ini adalah uangnya
lender (peminjam) jadi kalau pinjam maka harus dikembalikan," ucapnya.
AFPI mencatat terdapat 25 penyelenggara
fintech lending yang mengantongi lisensi dari OJK. Sementara itu, 119 perusahaan lainnya dalam proses pengajuan perizinan kepada OJK.
(ulf/agt)