Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (
Kadin) Rosan Roeslani mengatakan kebijakan
AS mencabut status Indonesia sebagai negara berkembang di Organisasi Perdagangan Dunia (
WTO) akan mempengaruhi daya saing usaha di dalam negeri. Pasalnya, pencabutan tersebut berpotensi menghilangkan beberapa fasilitas perdagangan dari AS.
Pencabutan tersebut dapat memberatkan pengusaha dalam berdagang.
"Terus terang ini akan mempengaruhi daya saing kami. Karena keistimewaan atau relaksasi yang kami terima ini kemungkinan besar bisa dihilangkan," kata Rosan di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Senin (24/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Rosan, pemerintah perlu melakukan lobi dengan AS atas pencabutan tersebut. Negosiasi dapat membantu pengusaha, terutama bila AS dapat meninjau kembali keputusan mereka tersebut.
"Jadi memang diperlukan lobi-lobi dari pemerintah untuk bisa memastikan relaksasi ini, apakah masih dapat dinegosiasikan lagi," jelasnya.
Rosan mengaku sebelum pemerintah AS memutuskan mencabut status Indonesia sebagai negara berkembang, pengusaha dalam negeri sebenarnya sudah memperkirakannya. Ia menyebut pengusaha juga sudah lama mengantisipasi hal tersebut dengan berupaya mempertahankan daya saing walaupun beberapa fasilitas perdagangan menghilang.
Antisipasi salah satunya dilakukan pengusaha dengan meningkatkan produktivitas industri secara menyeluruh. Peningkatan produktivitas tersebut salah satunya dilakukan dengan memberikan masukan kepada pemerintah dalam pembahasan omnibus law. dicanangkan pemerintah.
Rosan merasa upaya peningkatan daya saing dapat dilakukan dengan adanya peningkatan produktivitas dan perkembangan kualitas barang RI.
"Karena ujung-ujungnya kalau barang bagus, walaupun harganya enggak kompetitif, pasti akan memilihnya negara yang lebih memiliki
competitiveness yang lebih tinggi," paparnya.
Di sisi lain, Direktur Utama Pelindo IV Farid Padang menyebut pemerintah agar dampak kebijakan AS tidak mengganggu ekspor, pemerintah perlu memberikan insentif pajak kepada eksportir yang menjual barangnya ke AS.
Selain itu, pemerintah juga disarankan membalas AS dengan menetapkan pajak setimpal kepada komoditas impor dari Negeri paman Sam. Pajak setimpal secara khusus ia minta diterapkan pemerintah terhadap komoditas yang menghasilkan devisa besar bagi AS.
"Mungkin kasih tinggi buat AS, supaya kompensasi buat yang dilakukan, tapi bukan berarti perang," ucap Farid.
[Gambas:Video CNN]Langkah lainnya, lanjut Farid, bisa dilakukan pemerintah dengan mencari alternatif subsidi untuk ekspor komoditas ke negara selain AS, seperti Eropa ataupun Afrika Selatan.
Farid meilai pemerintah perlu bergerak lebih cepat dalam menanggulangi potensi pelebaran defisit neraca dagang antara Indonesia dan AS akibat kebijakan tersebut.
"Jadi intinya pemerintah harus cekatan cepat, kalau enggak, ekspor neraca perdagangan kita yang sudah negatif ini akan semakin negatif nanti," ungkapnya.
AS mencabut status negara berkembang Indonesia di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Pencabutan status ini berpotensi membuat RI kehilangan fasilitas perdagangan ekspor dan impor yang umumnya diterima oleh negara-negara berkembang.
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menyebut pencabutan status negara berkembang membuat Indonesia berpotensi tidak menerima fasilitas Official Development Assistance (ODA) yang merupakan alternatif pembiayaan dari pihak eksternal untuk melaksanakan pembangunan sosial dan ekonomi.
Padahal, melalui ODA sebuah negara berkembang tidak hanya mendapat pendanaan dari pihak eksternal melainkan juga memperoleh bunga rendah dalam berutang
(ara/agt)