Jakarta, CNN Indonesia -- Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (
DJBC)
Kementerian Keuangan mengungkap berbagai modus penipuan tagihan
bea cukai yang kerap menimpa masyarakat. Modus dilakukan mulai dari penyamaran menjadi Direktur Jenderal Bea Cukai Kemenkeu Heru Pambudi hingga rayuan gombal kepada korban.
Hal ini diungkap oleh Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga (KIAL) DJBC Kemenkeu Syarif Hidayat. Data DJBC mencatat setidaknya ada 283 laporan pengaduan kasus penipuan tagihan bea cukai. Penipuan tersebut menimpa masyarakat pada 1-31 Januari 2020.
Jumlah tersebut cenderung meningkat bila dibandingkan statistik laporan pengaduan dalam dua tahun terakhir. Pada 2019, jumlah laporan pengaduan mencapai 1.501.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara pada 2018, jumlahnya sebanyak 1.463 laporan. Artinya, rata-rata jumlah pengaduan sebanyak 121-125 laporan per bulan.
"Tapi ini baru sebulan saja sudah 283 laporan, berarti kalau setahun ini bisa mencapai tiga ribu laporan, bisa dua kali lipat yang akan tertipu, makanya kami ungkap modus-modusnya," ungkap Syarif, Selasa (3/3).
Untuk modus yang digunakan, Syarif mengatakan umumnya pelaku berpura-pura menjadi bos DJBC Heru Pambudi. Pengakuan disampaikan melalui pesan singkat Whatsapp.
Oknum tersebut kemudian menawarkan barang sitaan DJBC dan barang selundupan pasar gelap (
black market) dengan harga miring dan tanpa pungutan pajak.
Barang-barang yang ditawarkan bervariasi, mulai dari tas mewah, cincin, ponsel pintar, dan lainnya. Oknum menggunakan foto profil Whatsapp bos DJBC.
Lalu, oknum tersebut akan meminta korban untuk mentransfer uang ke rekening pribadi sesuai nilai yang disepakati. Namun, setelah uang dikirim, barang ternyata tidak pernah dikirim ke korban.
Malahan, setelah korban mentransfer uang, tiba-tiba ada oknum lain yang berpura-pura menjadi polisi dan menghubungi korban. Oknum tersebut mengaku telah mengendus transaksi gelap korban tersebut.
Oknum tersebut kemudian memeras korban.
"Mereka kadang menyertakan pula dokumen palsu yang seolah-olah asli, padahal tidak. Pokoknya kalau menawarkan seperti ini jangan percaya, apalagi di Whatsapp, tidak mungkin ada penawaran pribadi yang transfernya ke rekening pribadi juga," jelasnya.
[Gambas:Video CNN]Tak hanya itu, modus yang juga sering dipakai adalah berkenalan lewat fitur pesan di Facebook dan situs perkenalan antar negara. Biasanya, oknum akan berpura-pura menjadi seseorang dengan jabatan dan pekerjaan tinggi dari luar negeri yang mencari teman dekat di Indonesia.
Misalnya, ia berpura-pura menjadi pilot maskapai luar negeri. Tak jarang, oknum menggunakan foto profil yang menarik, sehingga bisa menjalin hubungan lebih lanjut dengan korban.
Umumnya, korban yang diincar adalah perempuan, lalu oknum melakukan tipu daya agar bisa mendapat kepercayaan korban. Setelah cukup dekat, oknum akan berpura-pura mengirimkan barang mewah kepada korban, misalnya tas mewah, cincin, dan lainnya.
Namun, barang tersebut tiba-tiba tertahan di bea cukai. Lalu, oknum meminta korban menebusnya dengan menghubungi petugas bea cukai yang nomornya diberikan langsung oleh oknum.
Padahal petugas bea cukai itu palsu dan satu sindikat dengan oknum. Korban akan diminta untuk menebus barang tersebut dengan membayar pajak masuk, misalnya Rp50 juta dari harga barang yang mencapai Rp5 miliar.
Namun, pembayaran itu dilakukan ke rekening pribadi. Bahkan, tak jarang, setelah korban melakukan transfer, oknum akan tetap berpura-pura bahwa prosesnya sulit sehingga korban perlu menambah setoran dana ke petugas bea cukai tersebut.
"Kadang yang membuat korban mudah terlena adalah dia hanya bayar Rp50 juta, tapi barang yang dijanjikan, misalnya harganya Rp5 miliar, itu bisa didapatkan. Jadi dia pikir ya tidak apa transfer Rp50 juta, nanti dapatnya lebih besar Rp5 miliar," tuturnya.
Untuk itu, DJBC menghimbau agar masyarakat jeli dengan modus-modus serupa ini dan tidak terlena dengan penawaran yang diberikan. Syarif mengatakan modus penipuan ini umumnya merupakan kelompok bersindikat.
"Relatif profesional, ketika kami
tracking, mereka ternyata ada di Jawa Tengah, Makassar. Tapi mereka mengakunya dari luar negeri, bea cukai, sampai polisi. Untuk yang dari luar negeri, dia bisa membangun
trust ke korban sampai berbulan-bulan,
chat dengan korban, jadi terlena lama-lama," katanya.
Lebih lanjut, Syarif mengungkapkan sebenarnya DJBC sudah berhasil meringkus sindikat seperti ini. Namun, karena jumlah pelakunya banyak, penipuan masih saja terjadi.
"Sudah ada satu kami tangkap, di Kualanamu, Medan, itu modusnya pegawai bea cukai gadungan, tapi ini masih banyak kasusnya," tuturnya.
Di sisi lain, DJBC tidak bisa memblokir nomor oknum, jejaring sosial yang digunakan, hingga situs perkenalan tersebut. Sebab, ada regulasi yang saling berkaitan.
"Sudah lapor juga kami ke Telkomsel, tapi sulit juga untuk benar-benar blokir semua nomor itu. Ini tentu jangka panjang kami lakukan, tapi dalam jangka pendek makanya kami sosialisasikan ke masyarakat agar tidak terkena," pungkasnya.
(uli/agt)