Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan
Sri Mulyani menyebut persoalan
virus corona lebih kompleks daripada krisis keuangan 2008 silam. Bukan tanpa alasan, mengingat wabah virus dari Wuhan, Hubei, China, tersebut mengancam langsung kesehatan dan keselamatan masyarakat.
Lihatlah ArcGis melansir sebanyak 96.892 orang terinfeksi virus corona di lebih dari 78 negara. Di antaranya 80.422 kasus ada di China. Sementara, kematian akibat penyakit covid-19 mencapai 3.305 orang hingga Kamis (5/3).
Persoalannya, wabah virus corona tidak hanya mengancam nyawa masyarakat. Ekonomi pun terancam. Di China selaku episentrum virus corona, ekonomi Negeri Tirai Bambu terpukul paling keras. Negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu mencatat Purchasing Managers Index (PMI) jatuh dari 51,8 pada Januari ke 26,5 pada Februari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indeks yang menggambarkan optimisme pelaku sektor bisnis itu merupakan terendah yang dialami China sejak 2005. Maklum, tidak kurang dari US$62 miliar diproyeksikan menguap dari China karena virus corona.
Seperti halnya virus corona, pesimisme terhadap laju ekonomi pun menular ke luar China. Tak heran, lembaga peminjam internasional sekaliber IMF dan World Bank/Bank Dunia mengiming-imingi belasan miliar dolar AS demi memukul mundur virus corona yang mengakibatkan ekonomi global tertekan.
Tak terkecuali Indonesia. Ketakutan masyarakat terhadap wabah virus corona berpotensi membuat sektor riil dalam negeri terdampak. Jika hal itu terjadi, kekhawatirannya aktivitas produksi rentan berhenti. Persis seperti yang melanda manufaktur China.
"Kemungkinan, ada pengangguran karena perusahaan-perusahaan tidak mendapatkan aktivitas produksi yang cukup," kata Sri Mulyani, Kamis (5/3) kemarin.
Setali tiga uang, Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal menilai krisis keuangan 2008 berbeda ancaman ekonomi pada saat wabah virus corona merebak. Perbedaan terletak pada penawar fiskal dan moneter tradisional yang tidak akan berdampak signifikan untuk mendorong laju ekonomi saat ini.
[Gambas:Video CNN]Ketika krisis keuangan 2008, ia menyebut penyebabnya
subprime mortgage. Sehingga, pemerintah mengeluarkan kebijakan dan intervensi yang tepat. Kali ini, yang membuat menakutkan adalah ketidaktahuan sumber masalah.
"Tidak tahu kapan selesai. Vaksin juga belum ditemukan dan negara terdampak semakin banyak. Kondisi ini masuk dalam skala ketidaktahuan. Lebih menakutkan karena kita tak tahu," ujarnya kepada
CNNIndonesia.com, Jumat (6/3).
Senada, Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah juga menilai kondisi ekonomi saat virus corona mewabah akan lebih rumit ketimbang 12 tahun lalu. Soalnya, ada ancaman permintaan atau konsumsi domestik karena virus corona juga mampir ke Indonesia.
"Pada saat 2008, harga komoditas masih relatif terjaga. Ekspor masih cukup baik. Domestik pun tidak banyak masalah terkait sektor riil, seperti saat ini. Tahun ini, tantangannya kompleks. Permintaan global anjlok dihantam perang dagang disusul wabah virus corona," ungkapnya.
Masih Ada HarapanKendati bayangan suram ekonomi dari virus corona, Fithra Faisal menilai masih ada secercah harapan. Terutama karena China, saat menghadapi wabah SARS pada 2003, ekonominya mampu bangkit. SARS sempat membuat ekonomi China melambat dari 11,1 persen pada kuartal I 2003 menjadi 9,1 persen pada kuartal II tahun yang sama.
Namun, memasuki kuartal ketiga dan keempat pada 2003, ekonomi China mulai bouncing dan tumbuh menjadi 10 persen. "Bahkan, pada 2007, China menyentuh pertumbuhan 14 persen, tertinggi sepanjang sejarah," jelasnya.
Kali ini pun akan serupa. Bahkan, perlambatan ekonomi China sebesar 1 persen akan berdampak 0,2 persen pada perekonomian RI. Tetapi, melihat antisipasi pemerintah dan potensi China untuk bouncing, ada kemungkinan ekonomi RI tak mengalami kontraksi.
Terutama, indeks Purchasing Managers Index (PMI) Indonesia masih di atas 50. Indeks ini menjadi peluang dan harus didukung dengan kebutuhan industri. Salah satunya dengan kebijakan relaksasi impor bahan baku. "Masih ada ruang positif untuk perekonomian RI," tandasnya.
(bir)