Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Chairman CT Group Chairul Tanjung menyebutkan salah satu hal yang harus diwaspadai di dalam negeri saat ini adalah kasus
Jiwasraya. Dalam acara
Economic Outlook 2020, dia menggambarkan kasus itu sebagai virus karena menyebar ke masalah lainnya.
Kasus gagal bayar produk saving plan Asuransi Jiwasraya memang menimbulkan polemik. Apalagi, Ketua BPK Agung Firman Saputra menegaskan kasus Jiwasraya bersifat gigantik dan berpotensi menimbulkan risiko sistemik.
Dalam kasus bank, risiko sistemik terjadi karena perbankan memiliki Dana Pihak Ketiga yang bersifat jangka pendek, sedangkan aset berupa kredit bersifat jangka panjang. Kondisi ini disebutnya sebagai
maturity mismatch. Sebaliknya asuransi jiwa relatif tidak berdampak sistemik, karena di sisi kewajiban kepada pemegang polis bersifat jangka panjang sedangkan di sisi aset investasi, bersifat jangka pendek.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bisnis model asuransi pada umumnya tidak menimbulkan
contagion effect terhadap lembaga keuangan lain karena asuransi mengenal mekanisme reasuransi -- digunakan untuk menyebarkan risiko ke pihak lain.
Risiko Mismatch
Namun, baik asuransi maupun bank berpotensi
mismatch. Dalam kasus asuransi Jiwasraya terjadi dua
mismatch.
Pertama,
mismatch bunga yakni ketidaksesuaian
fixed return yang dijanjikan kepada nasabah
saving plan di satu sisi, sedangkan lainnya bunga hasil investasi yang cenderung fluktuatif di sisi lain.
Kedua, adalah
maturity mismatch yakni ketidaksesuaian jangka waktu yang dijanjikan kepada pemegang polis untuk mencairkan polis setiap tahun, sementara investasi Jiwasraya tidak dapat dicairkan setiap waktu.
Kebutuhan
cash out flow produk
saving plan bersifat jangka pendek. Tiap tahun nasabah bisa tarik dana. Masalahnya, investasi kebanyakan di saham yang jangka panjang, termasuk di Jiwasraya.
Pada Desember 2017, komposisi investasi di Jiwasraya adalah reksadana saham Rp22,2 triliun (52,68 persen); obligasi dan reksa dana pendapatan tetap Rp7,6 triliun (18,12 persen); properti Rp6,5 triliun (15,5 persen); serta pasar uang dan reksadana pasar uang Rp4, 33 triliun (10,36 persen).
Namun pada September 2019 lalu, komposisinya menjadi saham dan reksa dana saham Rp8,1 triliun (36,87 persen); obligasi dan reksa dana pendapatan tetap Rp5,1 triliun (23, 11 persen) ; properti Rp6,7 triliun (30,32 persen) ; pasar uang dan reksadana pasar uang Rp742 miliar (3, 35 persen ).
AIG dan JiwasrayaMenarik membandingkan kasus Jiwasraya dengan kasus asuransi AIG pada 2008 yang mendapatkan
bail out dari pemerintah AS senilai US$150 miliar. Krisis moneter pada saat itu terjadi karena persoalan subprime mortgage.
Kala itu, AIG menjamin risiko default dari portofolio kredit berkualitas rendah alias berisiko tinggi yaitu subprime mortgage melalui produk AIG Credit Default Swap (CDS). Sedangkan saat ini, Jiwasraya menginvestasikan uangnya di instrumen berkualitas rendah alias berisiko tinggi pula.
Jadi, AIG memiliki produk untuk menjamin produk berkualitas rendah, sementara Jiwasraya menempatkan uang nasabah di instrumen investasi dengan kualitas yang sepadan.
Di titik ini, Jiwasraya bisa saja berdampak sistemik apabila ketergantungan sektor keuangan lain cukup tinggi terhadap BUMN tersebut. Ini adalah saat banyak investor yang menanamkan dananya di Jiwasraya, sebagaimana yang terjadi pada AIG waktu itu.
Masalahnya, AIG kemudian bisa mengembalikan dana bail out US$150 miliar bahkan dengan keuntungan kepada pembayar pajak sebesar US$22,7 miliar.
Lantas, apakah skema penyelamatan AIG dapat dilakukan untuk Jiwasraya?
Undang-Undang Nomor 9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan menyatakan negara kini tidak lagi menyediakan dana talangan untuk menyelamatkan institusi keuangan.
Negara akan lebih memfokuskan untuk penyehatan perusahaan yang terkena kasus alias bail in.
Namun sebenarnya, Undang Undang OJK menyediakan wake up call.
Ketika perbankan atau asuransi terjadi masalah dan akan berdampak sistemik, maka dapat dicegah dan ditangani melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK).
Kondisi 'tak normal' sistem keuangan harus diindikasikan oleh Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan.
Masing masing pihak tersebut dapat mengajukan indikator itu ke FKSSK untuk segera memutuskan langkah langkah pencegahan atau penanganan krisis.
[Gambas:Video CNN]Dalam kasus Jiwasraya, masyarakat bisa jadi melihat negara gagal melindungi rakyatnya dalam berinvestasi. Tak hanya itu, namun juga gagal dalam memberikan likuiditas dalam bentuk suntikan modal yang diperlukan bagi badan usaha milik negara.
Bagi penulis, revaluasi aset Jiwasraya hanya untuk dapat menyelesaikan solvabilitas namun tidak menyelesaikan kebutuhan likuiditas produk Saving Plan.
Oleh karena itu, pemerintah bersama DPR harus bersikap ekstra hati hati dalam memutuskan opsi pembayaran yang direncanakan akhir Maret.
Pemerintah harus bersikap tak diskriminatif terhadap sebagian besar pemegang polis produk tradisional Jiwasraya yang murni bersifat proteksi, dengan sebagian pemegang polis produk
saving plan yang dominan bersifat investasi.
Penulis berpendapat, pemegang polis
saving plan dengan nilai simpanan yang besar dapat ditawarkan
hair cut (pemotongan) terhadap nilai tunai. Sementara, untuk pemegang polis tradisional yang murni bersifat proteksi dengan nilai simpanan kecil hendaknya dibayar penuh.
Keduanya jenis nasabah itu harus mengingat filosofi dasar:
sharing the pain sharing the gain. Ringan sama dijinjing berat sama dipikul atau gotong royong sebagaimana asas dan watak dasar ekonomi kita.
(asa)