ANALISIS

Awas Gejala Resesi, Virus Corona 'Infeksi' Ekonomi RI

Dinda Audriene | CNN Indonesia
Kamis, 12 Mar 2020 08:57 WIB
Ekonom Bhima Yudhistira mengingatkan saat ini ekonomi RI tercatat melambat tiga kuartal berturut-turut.
Ekonom Bhima Yudhistira mengingatkan saat ini ekonomi RI tercatat melambat tiga kuartal berturut-turut. Ilustrasi. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga).
Jakarta, CNN Indonesia -- Ketidakpastian ekonomi kian hari kian jadi. Belum juga reda efek perang dagang AS dan China, kini ekonomi global, tak terkecuali Indonesia dibayangi kekhawatiran pandemi virus corona dan 'perang minyak' antara Arab Saudi dan Rusia.

Harga minyak anjlok, bahkan sempat menyentuh level terdalamnya lebih dari 25 persen, penurunan harian terbesar sejak Perang Teluk pada 1991 silam.

Di dalam negeri, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun melorot 6,58 persen ke level 5.136 pada perdagangan awal pekan ini. Penurunan terus berlanjut hingga saat ini. Sejak awal tahun, boleh dibilang pergerakan bursa saham domestik terseok-seok.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

RTI Infokom mencatat IHSG sudah amblas 18,18 persen sejak awal tahun hingga saat ini. Hal ini dipicu kekhawatiran bursa saham terhadap pandemi virus corona.

Indikator lain, yakni nilai tukar rupiah. Mata uang Garuda melemah 3,39 persen terhadap dolar AS sejak awal tahun. Saat ini, rupiah dihargai di posisi Rp14.353 per dolar AS.

Di sektor riil, sejumlah perusahaan pun telah mengambil langkah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan memaksa karyawan mereka untuk cuti tanpa dibayar. Misalnya, di Bali dan Bintan. Perusahaan beralasan, bisnis pariwisata lesu kehilangan wisatawan.

Ekonom Indef Bhima Yudhistira menyebut situasi di atas sebagai permulaan. Efek dari penyebaran virus corona, ditambah perseteruan Arab Saudi-Rusia diperkirakan masih akan memukul perekonomian.

Ia khawatir ekonomi RI masuk gejala resesi. "Pertumbuhan ekonomi jelas akan melambat. Kalau terjadi tiga kuartal berturut-turut, itu masuk fase atau gejala resesi. Virus corona ini bisa mempercepat resesi ekonomi," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (12/3).

Ekonomi Indonesia tercatat melambat sejak tahun lalu. Badan Pusat Statistik (BPS) melansir pertumbuhan ekonomi kuartal I 2019 sebesar 5,07 persen. Kemudian, lebih lambat lagi pada kuartal II 2019 sebesar 5,05 persen.

Terus melambat pada kuartal III 2019, di mana pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,02 persen. Kemudian, ekonomi domestik semakin anjlok pada kuartal IV 2019 dengan pertumbuhan 4,97 persen.

[Gambas:Video CNN]

Di mata Bhima, sentimen negatif ada dimana-mana. Bahkan, ia bilang situasi ekonomi saat ini lebih parah ketimbang krisis keuangan 2008 silam. Pada saat itu, sektor yang paling terpukul adalah keuangan, sedangkan sektor lain terpantau bugar.

Bandingkan dengan kondisi tahun ini yang memukul banyak sektor, mulai dari industri manufaktur, pasar saham, dan rupiah yang melempem, termasuk sektor pariwisata. "Kalau sekarang yang kena semua sektor. Ditambah, minyak juga turun," katanya.

Rupiah dan IHSG masih akan melemah dalam beberapa bulan ke depan. Bahkan, rupiah diramal tembus ke level Rp15 ribu per dolar AS. Tak sampai disitu, Bhima melanjutkan jumlah perusahaan yang merumahkan karyawan mereka pun berpotensi meningkat.

Imbasnya, tingkat pengangguran dan kemiskinan rentan bertambah. Daya beli yang mulai landai pun akan semakin terpengaruh. Akhirnya, ekonomi semakin terpukul.

Kalau sudah begini, Bhima tak yakin ekonomi RI bisa bertahan di level 5 persen. Ia malah memperkirakan ekonomi domestik tumbuh maksimal 4,5 persen. "Sebelum ada virus corona, saya prediksi 4,8 persen. Setelah ada corona, jadi di bawah 4,5 persen," jelasnya.

Stimulus ekonomi yang diberikan pemerintah pun dinilai kurang manjur dan terlambat. Diketahui, paket insentif jilid pertama pada Februari 2020 sebesar Rp10,3 triliun.

Insentif yang diberikan, antara lain menambah tunjangan Kartu Sembako dari Rp150 ribu menjadi Rp200 ribu per bulan. Penambahan itu menghabiskan anggaran Rp4,56 triliun untuk 6 bulan ke depan.

Lalu, insentif fiskal berupa diskon tiket pesawat sebesar 30 persen ke 10 destinasi yang telah ditentukan. Pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp443,39 miliar. Diikuti alokasi dana Rp72 miliar untuk influencer demi menarik wisatawan mancanegara.

Pemerintah juga menganggarkan dana Rp103 miliar untuk kegiatan pariwisata dan promosi sebesar Rp25 miliar, termasuk Rp98,5 miliar untuk maskapai dan agen biro perjalanan.

Selanjutnya, pemerintah berencana merilis paket insentif jilid kedua dalam waktu dekat. Paket itu nantinya berisi insentif untuk ekspor-impor dan penundaan pajak penghasilan (PPh).

"Bisa juga ditambah dengan diskon tarif listrik untuk sektor industri yang paling terdampak. Tapi, diskonnya harus di jam-jam sibuk agar terasa demi mencegah potensi PHK," tegas Bhima.

Situasi Bisa Membaik

Berbeda dengan Bhima, Ekonom Universitas Indonesia Ari Kuncoro malah memprediksi pasar keuangan domestik membaik pada Mei 2020 mendatang. Ia yakin rupiah tidak akan lari dari Rp14 ribu per dolar AS.

Ada potensi investor yang sebelumnya banyak menarik dananya dari Indonesia akan kembali lagi. Hal ini dikarenakan Indonesia masih dipandang mampu mengendalikan ekonominya dibandingkan dengan negara lain.

"Jadi, investor akan mencari negara mana yang minimal ekonominya bisa bertahan ketika situasi tidak pasti seperti sekarang. Negara lain ekonominya anjlok, sedangkan Indonesia bisa bertahan di 4 persen," ungkap Ari.

Jika aliran dana asing kembali, ia optimistis rupiah akan bangkit (rebound). Begitu juga dengan pasar saham yang beberapa waktu terakhir rontok hingga belasan persen. "Jadi ekonomi domestik bisa ditolong dari aliran dana asing," imbuh dia.

Memang, industri masih akan sulit bangkit dalam jangka pendek. Hanya beberapa sektor saja yang selamat, seperti makanan dan minuman (mamin) dan perusahaan yang menjual alat-alat keperluan rumah tangga.

"Tapi kalau ekonomi jadi hancur ya tidak, bisa bertahan di sekitar 4 persen. Jadi, tidak anjlok-anjlok sekali," ungkapnya.

Bahkan ia menolak menyebut dampak penyebaran virus corona dan sentimen negatif lainnya akan membuat ekonomi global dan domestik serupa dengan 2008 lalu. Ia bilang terlalu dini menyimpulkan kekhawatiran saat ini dengan krisis keuangan 2008. "Mungkin, masih ada harapan," katanya.

Apalagi, tambahnya, pemerintah sudah merilis berbagai stimulus fiskal pada bulan lalu. Sejauh ini, Ari menganggap apa yang dilakukan pemerintah sudah tepat.

"Kalau situasinya seperti ini semua gelontorin saja dulu, tidak ada yang salah dan benar. Itu relatif, yang penting berikan apa yang bisa diberikan dulu insentifnya," pungkas Ari. (bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER